
NASIONALTERKINI.— Menyambut tahun 2025, sektor pariwisata Indonesia berada di titik kritis. Di tengah tantangan global dan perubahan cara pandang terhadap perjalanan, muncul kesadaran baru: pariwisata bukan lagi sekadar industri yang menjual pemandangan dan pengalaman instan, tetapi sebuah medan untuk refleksi, pertumbuhan, dan penyembuhan kolektif.
Agus Budi Rachman, Sekretaris Eksekutif DPD PUTRI sekaligus pengelola Taman Pintar Yogyakarta, menyampaikan pandangannya dengan nada filosofis. “Kita memasuki getaran angka 9,” ujarnya, merujuk pada simbol dalam numerologi yang kerap dimaknai sebagai akhir sebuah siklus. “Tapi benarkah ini akhir? Atau justru awal dari sesuatu yang lebih subtil,lebih mendalam:Rabu;09/04/2025 di Taman Pintar Yogyakarta
Dalam dunia yang berubah begitu cepat, kata Agus, tidak ada yang benar-benar berakhir. Justru, di titik inilah transformasi sesungguhnya bisa dimulai.
Dari Konsumsi ke Kontemplasi
Pariwisata 2025 bergerak melampaui definisi konvensional. Bukan lagi sebatas kunjungan, selfie, atau angka okupansi kamar hotel. Tren global menunjukkan pergeseran dari eksotisme menuju eksistensi. Wisatawan kini tidak hanya mencari keindahan visual, tetapi pengalaman otentik yang menggugah rasa dan memperkaya jiwa.
Namun, paradoks muncul. Di tengah konektivitas global yang semakin kuat, banyak destinasi kehilangan jati dirinya. Ketika keaslian dicari, yang ditemukan justru imitasi yang dibungkus estetika. “Ini bukan lagi soal ‘di mana kita berfoto,’ tapi ‘apa yang tersisa setelah kita pergi,’” ungkap: Agus.
Pariwisata sebagai Bentuk Kolonialisme Baru?
Secara provokatif, Agus mengangkat pertanyaan yang menggugah kesadaran: apakah pariwisata selama ini tidak lebih dari bentuk kolonialisme baru? Dengan wajah tersenyum dan lensa kamera, budaya lokal seringkali dijadikan komoditas, diabadikan sekaligus dikikis oleh logika pasar.
“Apakah kita benar-benar menghargai budaya yang kita kunjungi? Atau hanya mengambil bagian paling menarik darinya untuk kita pamerkan di media sosial?” tanyanya.
Menuju Ekosistem yang Inklusif dan Berkeadilan
Transformasi yang dibutuhkan tidak cukup hanya pada permukaan. Ini bukan tentang mengganti kemasan promosi atau menambahkan narasi “sustainability” sebagai pelengkap brosur wisata. “Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma,” tegas Agus. “Dari eksklusi menuju inklusi. Dari eksploitasi menuju regenerasi.”
Isu-isu mendasar seperti ketimpangan akses, marginalisasi komunitas lokal, hingga eksploitasi alam dan warisan budaya tak bisa lagi diabaikan. “Tahun ini adalah undangan untuk menyelesaikan yang belum tuntas. Untuk membangun pariwisata sebagai ekosistem yang berkeadilan,” katanya.
Menurut Agus, “ekosistem pariwisata berkeadilan” bukanlah slogan kosong. Ia adalah seruan zaman untuk kolaborasi lintas sektor yang dilandasi kesadaran bersama. Kolaborasi yang tidak menempatkan satu pihak sebagai pusat, tetapi saling menopang dalam jaringan yang cair dan dinamis.
Menenun Ulang Makna Perjalanan
Tahun 2025 membuka ruang untuk menyusun ulang narasi pariwisata. Bukan sekadar alat ekonomi, melainkan sebagai ruang belajar kolektif—sebuah platform untuk membangun kesadaran baru. Pariwisata harus mampu menjadi ruang perjumpaan yang otentik, ruang pertumbuhan bersama, dan ruang penyembuhan, baik bagi individu maupun komunitas.
Agus menutup dengan refleksi mendalam:
“Pariwisata masa depan bukan tentang tempat yang dikunjungi, tapi tentang kesadaran yang dibawa pulang.”
“Yang kita cari di luar, seringkali adalah refleksi dari yang hilang di dalam.”
“Maka pariwisata harus menjadi jembatan, bukan pelarian. Transformasi sejati bukan saat kita mengganti cara berpromosi, tetapi saat kita mengubah cara kita memaknai.”Pungkas:Agus(Tyo)