
NASIONALTERKINI.Yogyakarta, Pendekatan terhadap pariwisata Indonesia kini mengalami pergeseran paradigma. Tidak lagi semata mengejar angka kunjungan wisatawan, sektor ini mulai diarahkan pada prinsip keberlanjutan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Hal ini disampaikan oleh dua tokoh yang aktif dalam pengembangan pariwisata dan kebijakan etika global.
Menurut Jaka Triyana, Staf Ahli Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Wakil Dekan Fakultas Hukum UGM, masa depan pariwisata Indonesia sangat ditentukan oleh keberanian untuk mengubah strategi pembangunan. Ia menekankan pentingnya menjadikan masyarakat lokal sebagai pusat dari pembangunan destinasi wisata.
“Pariwisata saat ini tidak bisa lagi dipahami hanya sebagai lintas batas wilayah. Ini soal bagaimana kita mengelola sumber daya lokal secara bijak, dengan mengedepankan keberlanjutan lingkungan dan sosial,” ujarnya:Kamis:10/04/2025 di Yogyakarta.

Jaka juga menyoroti temuan dari sejumlah studi lapangan yang ia lakukan di lima destinasi prioritas nasional seperti Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Bali. Ia menemukan bahwa keterlibatan masyarakat lokal di destinasi utama masih sangat terbatas.
“Banyak masyarakat yang justru merantau ke kota, dan saat kembali pun mereka memilih tinggal di homestay yang dekat dengan akar budaya mereka, bukan di hotel berbintang. Ini bukti bahwa wisata berbasis pengalaman personal dan kultural lebih diminati,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu memperjelas standar pengelolaan destinasi agar tidak semata fokus pada aspek ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan keseimbangan ekologi dan sosial. “Jika tidak, kita akan menghadapi konflik kepentingan dan kerusakan lingkungan yang sulit diperbaiki,” tambahnya.
Di sisi lain, Agus Rachman, Sekretaris DPD PUTRI DIY menyoroti aspek etika dalam praktik pariwisata global. Ia mengangkat pentingnya Kode Etik Global untuk Pariwisata (Global Code of Ethics for Tourism/GCET) sebagai pedoman moral yang kini berada di persimpangan jalan.
“GCET dirancang untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan. Namun di lapangan, pariwisata masih sering menjadi alat eksploitasi, bukan pemberdayaan,” ungkapnya.
Agus menyampaikan refleksi kritis tentang bagaimana prinsip luhur dalam GCET—seperti penghormatan budaya lokal, perlindungan lingkungan, dan keadilan distribusi manfaat ekonomi—masih sering diabaikan.
“Masyarakat lokal diminta terbuka, namun tak diberi suara. Wisatawan diminta bertanggung jawab, tapi terus dibujuk untuk mengonsumsi. Ini adalah ironi dalam sistem ekonomi yang tidak sepenuhnya etis,” ujarnya.
Ia mempertanyakan efektivitas GCET dalam menghadapi realitas industri pariwisata saat ini yang kerap dikendalikan oleh kekuatan dominan. “Mungkin GCET bukan jawaban final, tapi ia tetap menjadi kompas yang menuntut kita membaca arah angin dan menilai kembali ke mana arah pembangunan pariwisata hendak dibawa,” tutup Agus.
Kedua narasumber sepakat bahwa kolaborasi antar pemangku kepentingan—pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat—adalah prasyarat mutlak untuk menciptakan sistem pariwisata yang adil, lestari, dan berakar pada nilai-nilai lokal. Dalam dunia yang kian terdigitalisasi dan terdorong oleh globalisasi, pariwisata Indonesia dituntut untuk tidak hanya mengikuti tren global, tetapi juga menjadi contoh praktik yang beretika dan berkelanjutan.Pungkas:Agus(Tyo)