
NASIONALTERKINI.Borobudur bukan sekadar bangunan batu yang menjulang dalam kesunyian, bukan pula semata monumen arkeologis yang dibangun berabad-abad lalu. Ia adalah medan spiritual—ruang hening yang mengundang manusia untuk menyelami dirinya sendiri, menapaki makna yang tersembunyi di balik kehidupan sehari-hari. Dalam diamnya, Borobudur berbicara. Ia menyampaikan pesan yang tak dapat ditangkap hanya lewat penglihatan, melainkan harus dirasakan lewat hati yang bening dan pikiran yang sunyi.
Agus Budi Rahman, seorang pemerhati Pariwisata dan Budaya mengatakan bahwa Borobudur mengandung pesan transendental yang mendalam. Menurutnya, pencarian sejati dalam hidup ini tidak selalu harus bermuara pada penemuan atau jawaban. Justru, dalam kesadaran untuk berhenti mencari, manusia bisa menemukan kedamaian sejati. Borobudur, dalam hal ini, bukan hanya tempat yang dikunjungi, tetapi perjalanan itu sendiri—sebuah proses membebaskan diri dari keinginan untuk ‘menemukan’, dan mulai menerima apa adanya.Rabu:07/05/2025 di Yogyakarta
Struktur Borobudur yang terbagi dalam tiga tingkatan utama—Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu—merupakan simbolisasi yang sarat makna. Kamadatu menggambarkan dunia nafsu dan keterikatan; Rupadatu merepresentasikan dunia bentuk dan kesadaran akan keindahan; sementara Arupadatu adalah puncak, dunia tanpa bentuk, tempat kesadaran murni melampaui batas-batas materi. Perjalanan menaiki Borobudur tidak hanya menapaki batu demi batu, tetapi juga membimbing batin melewati tahapan demi tahapan menuju pencerahanUngkapnya.
Angka-angka sakral 3, 6, dan 9 yang tercermin dalam struktur Borobudur bukanlah kebetulan. Angka-angka ini menggambarkan pola evolusi spiritual yang tidak berjalan lurus, tetapi spiral. Dalam spiral ini, setiap putaran membawa kita ke dalam lapisan kesadaran yang lebih dalam, lebih luas, lebih merdeka. Perjalanan spiritual tidak linear—ia penuh belokan, jeda, dan pengulangan yang mendewasakan.Paparnya
“Borobudur bukan tempat tujuan, tapi ruang perenungan,” ujar Agus Budi Rahman. Ia mengajak setiap peziarah untuk melepaskan segala beban ego dan konsep-konsep tentang diri. Dalam keheningan, ia berkata, kita dapat mengalami kesatuan yang tak terlukiskan—sebuah rasa menyatu dengan semesta yang tidak membutuhkan kata, tidak pula membutuhkan definisi. Saat kita menaiki undakan demi undakan, kita sebenarnya sedang menanggalkan satu per satu lapisan diri yang semu. Hingga pada akhirnya, yang tersisa bukan lagi ‘aku’ yang mencari, melainkan kesadaran yang hadir sepenuhnya—utuh dan bebas.
Kesadaran yang lahir dari pengalaman di Borobudur bukanlah sesuatu yang perlu dirayakan atau dijelaskan panjang lebar. Ia muncul dalam diam, hadir dalam kejernihan, dan terasa dalam kebebasan sejati—bebas dari bentuk, bebas dari konsep, bebas dari keinginan untuk memahami. Borobudur tidak mengikat, ia membebaskan. Ia tidak menawarkan jawaban, melainkan menyediakan ruang batin yang luas, tempat segala pertanyaan melebur menjadi satu: keheningan.Di sanalah, dalam ruang hening itulah, kedamaian sejati bermula.Tutup ;Agus(Tyo)