
NASIONALTERKINI. Agus Budi Rahman selaku Wakil Ketua (GIPI) Mengatakan Pariwisata berbasis petualangan dan budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menghadirkan tantangan tersendiri dalam hal keselamatan dan kualitas layanan. Sosialisasi ini merefleksikan secara akademik dan kontemplatif pentingnya kesadaran risiko dalam praktik usaha jasa pariwisata berisiko menengah-tinggi. Dengan pendekatan reflektif ini menyoroti bagaimana kesiapan struktural, pemahaman terhadap SOP, dan etos profesionalisme seringkali kalah oleh budaya improvisasi dan kenyamanan semu. Tujuan utama sosialisasi ini adalah mendorong perubahan paradigma dari sekadar melayani menjadi melindungi, dari ramah menjadi tanggap.Ujar:Agus di sela-sela acara sosialisasi Pariwisata Senin:19/052025 di Pendopo Wisata Desa Gamplong Sleman Yogyakarta

Pariwisata bukan hanya soal menghadirkan pengalaman, tetapi soal menjamin bahwa pengalaman itu tidak berujung pada luka atau kehilangan. DIY sebagai destinasi unggulan Indonesia memiliki berbagai wahana dan pengalaman wisata menantang, seperti lava tour Merapi, paralayang Parangtritis, cave tubing Goa Pindul, dan lainnya. Semua ini menawarkan kegembiraan sekaligus potensi bahaya. Dalam konteks ini, pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah: apakah pelaku wisata benar-benar sadar risiko? Dan lebih jauh: apakah mereka siap memberikan layanan yang tidak hanya memuaskan tetapi juga menyelamatkan:Paparnya
Paradoks Budaya Kesantunan vs Kesiapan Struktural: Salah satu kekuatan pariwisata DIY adalah keramahan. Namun, di balik senyum dan sapaan hangat, sering tersembunyi ketidaksiapan sistemik. Banyak pelaku usaha masih mengandalkan intuisi, kebiasaan lama, dan logika “wisata sudah berjalan aman selama ini”. Sayangnya, risiko tidak mengenal masa lalu. Tanpa sistem deteksi dini, SOP terstandar, dan pelatihan tanggap darurat, satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Di sinilah muncul paradoks: budaya keakraban justru bisa mengaburkan urgensi profesionalisme.Terangnya
Sadar Risiko sebagai Kesadaran Etis: Kesadaran risiko bukan sekadar penguasaan teknis mitigasi, tetapi sikap batin yang sadar bahwa layanan wisata menyangkut nyawa dan martabat manusia. Etika pelayanan dalam sektor berisiko seharusnya menuntut akuntabilitas tinggi. Sayangnya, formalitas SOP sering dianggap beban administratif, bukan sebagai kontrak moral antara penyedia dan pengguna jasa.Ungkapnya
Profesionalisme dalam Layanan: Lebih dari Sekadar Ramah: Pelayanan prima dalam konteks wisata berisiko tinggi seharusnya dimaknai ulang. Bukan hanya cepat, murah, dan menyenangkan, tetapi juga aman, terukur, dan terstruktur. Seorang operator jeep lava tour, misalnya, seharusnya tidak hanya tahu rute, tetapi juga titik bahaya, teknik evakuasi, dan pemeliharaan kendaraan. Sadar risiko berarti menginternalisasi bahwa setiap keputusan kecil—dari cara mengikat helm sampai memilih jalur saat hujan—berdampak besar.Imbuh:Agus
Menumbuhkan Budaya Belajar dan Simulasi: DIY memerlukan transformasi budaya pelaku pariwisata: dari budaya reaktif menjadi budaya belajar. Simulasi kebencanaan, audit SOP, dan pelatihan teknis harus menjadi bagian dari keseharian, bukan hanya saat inspeksi. Pemerintah daerah, asosiasi pelaku usaha, dan akademisi perlu bergandengan tangan membentuk ekosistem yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kelestarian hidup.
Menjadi sadar risiko dan siap layanan adalah dua sisi dari mata uang yang sama: tanggung jawab moral dan profesional dalam menghadirkan pariwisata yang bermakna. Dalam era pariwisata berbasis pengalaman dan tantangan, kualitas sejati bukan hanya diukur dari kepuasan pelanggan, tapi dari keberanian semua pihak untuk berkata: “Kami siap, kami aman, dan kami bertanggung jawab.Pungkas:Agus(Tyo)