
NASIONALTERKINI.Candi Borobudur bukan sekadar peninggalan sejarah atau objek wisata dunia yang megah berdiri di jantung Jawa. Lebih dari itu, Borobudur adalah cermin perjalanan spiritual manusia—dari dunia penuh nafsu hingga menuju pencerahan. Dalam sunyinya, ia mengajak setiap peziarah masuk ke dalam diri.
“Borobudur tidak dibangun untuk memamerkan kejayaan manusia, tetapi untuk membimbing manusia menuju ke dalam dirinya sendiri,” ujar Agus Budi Rahman, pemerhati pariwisata dan budaya.Senin:05/05/2025 Saat di temui di Caffe Yogyogyakarta
Borobudur terdiri dari tiga tingkatan utama yang sarat makna: Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu—yang masing-masing merepresentasikan tahap perkembangan batin manusia.
Kamadatu, di bagian paling bawah, menggambarkan dunia penuh keinginan dan keterikatan. Relief di sini menunjukkan kehidupan yang dipenuhi nafsu dan karma. Ini adalah titik awal perjalanan jiwa, saat manusia masih dikendalikan oleh ego.
Naik ke Rupadatu, peziarah berada di wilayah dunia bentuk. Di sini, simbol-simbol spiritual mulai mendominasi, menunjukkan bahwa manusia mulai melepaskan keterikatan, meski masih butuh bentuk untuk memahami realitas.
Puncaknya adalah Arupadatu—tingkat tanpa bentuk. Hampir tanpa relief, hanya stupa-stupa sunyi mengelilingi stupa utama yang kosong. Kosong yang bukan berarti hampa, melainkan lambang dari kesadaran murni—tanpa nama, tanpa bentuk, hanya keberadaan sejati.
“Semakin tinggi kita mendaki Borobudur, semakin sederhana bentuknya. Sama seperti kesadaran tertinggi—bukan rumit, tapi murni, ringan, dan tenang,” tutur Agus.
Spiral Menuju Sunyi: Meditasi dalam Batu
Tak seperti bangunan lainnya, Borobudur dirancang untuk dialami, bukan sekadar dilihat. Jalur spiral dari bawah ke atas adalah simbol transformasi jiwa—perjalanan berulang yang naik, seperti heliks DNA, galaksi yang berputar, atau mantra dalam doa.
“Borobudur adalah tubuh meditasi,” ujar Agus. “Ia mengajarkan kita bahwa diam bukan ketiadaan, tapi keberadaan yang paling dalam.”
Energi dalam Keheningan
Meski dibangun dari batu dan berdiri diam selama ribuan tahun, Borobudur memancarkan gerak batin yang kuat. Ia seperti pusat energi spiritual yang menyentuh siapa pun yang datang, seolah memanggil untuk berhenti sejenak dan mendengarkan suara dari dalam.
Borobudur tidak hanya mahakarya arsitektur, melainkan peta kesadaran yang membimbing manusia untuk menyatu dengan semesta. Di tengah dunia yang semakin bising, mungkin sudah saatnya kita belajar untuk diam—seperti Borobudur—agar bisa mendengar kembali suara jiwa kita sendiri.Tutup:Agus(Tyo)