
NASIONALTERKINI.Yogyakarta, kota yang dijuluki “istimewa”, seolah tak pernah benar-benar tidur. Ketika malam merayap turun, lampu-lampu Malioboro tetap menyala terang, warung angkringan mengepul di sudut-sudut gang, dan deru kendaraan terus membelah udara dari Tugu hingga Ring Road. Di kota ini, kehidupan berdetak nyaris tanpa jeda—ditopang harapan, ambisi, dan tak jarang, kemacetan yang kian tak terkendali.
Namun di balik dinamika yang mencerminkan geliat kemajuan itu, terselip pertanyaan mendasar yang kian mengusik: apakah pemerintah dan industri benar-benar melangkah seirama? Ataukah sinergi yang terlihat hanya ilusi, menyembunyikan perbedaan visi yang mendasar?
Pertanyaan tersebut mencuat dari pengamatan Agus Budi Rahman, seorang pemerhati pariwisata, saat ditemui :Minggu:20/04/2025 di sebuah kaffe diYogyakarta
Menurutnya, geliat pembangunan yang massif di kota ini kerap tak selaras dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal.
“Bukan sekadar romantisme atas Yogyakarta yang ramah dan bersahaja,” katanya. “Ini kegelisahan kolektif masyarakat yang merasa kian terpinggirkan di tengah laju investasi dan pembangunan yang tak memberi ruang untuk berpikir jangka panjang.”Ujar:Agus
Gedung-gedung komersial menjulang, hotel-hotel tumbuh bak jamur di musim hujan, dan berbagai proyek raksasa hadir dengan jargon kesejahteraan. Namun siapa yang benar-benar merumuskan arti “kemajuan” itu? Apakah suara warga lokal, pelaku UMKM, seniman jalanan, petani pinggiran, dan mahasiswa turut dipertimbangkan? Atau justru arah pembangunan digerakkan oleh elite ekonomi dan pembuat kebijakan yang berjauhan dari denyut kehidupan warga?
Realitasnya mulai terlihat gamblang: identitas budaya Yogyakarta perlahan terkikis. Kota yang dahulu menjadi rumah bagi keberagaman dan kreativitas kini mulai bergeser ke arah yang lebih eksklusif. Julukan “kota pelajar” pun terasa makin mahal dan asing bagi mereka dari keluarga berpenghasilan rendah. Sementara itu, industri pariwisata dan properti berkembang pesat—sering kali dengan dukungan penuh dari kebijakan pemerintah—namun tidak serta-merta berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil.Paparnya
Secara formal, kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri tampak solid. Namun jika dilihat lebih jeli, pertanyaan penting muncul: ke mana arah pembangunan ini sebenarnya? Apakah semua pihak memiliki visi yang sama? Ataukah mereka sekadar menari dalam irama kepentingan ekonomi jangka pendek dan dinamika politik yang berubah-ubah?Jelasnya
Yogyakarta memang tak pernah sepi. Tapi dalam hiruk-pikuk itulah, kesepian mulai terasa. Kesepian karena tidak didengar. Karena menjadi objek pembangunan, bukan subjek yang dilibatkan. Karena kebijakan-kebijakan besar seolah lahir dari menara gading, jauh dari ruang dialog publik yang inklusif.Ungkapnya
Kini, kita dihadapkan pada dilema fundamental: mungkinkah kota ini mencintai kemajuan tanpa mengorbankan jati dirinya? Bisakah kita membangun ekonomi yang tangguh tanpa meruntuhkan nilai-nilai yang selama ini menjadi fondasi?
Yogyakarta mengajarkan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam ini harus terus diajukan. Keistimewaan sejati tak terletak pada status administratif, tetapi pada keberanian untuk bertanya, berdialog, dan membentuk arah bersama.Imbuh:Agus
Jogja memang tak pernah sepi. Tapi di tengah kebisingan dunia yang terus bergerak, masihkah kita mampu mendengar suara hati?Pungkas:Agus(Tyo)