
NASIONALTERKINI. Dalam geliat industri pariwisata yang terus melaju di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), muncul satu pertanyaan mendasar: sudahkah keselamatan dan kualitas pelayanan menjadi prioritas utama
Hal ini menjadi sorotan dalam diskusi reflektif yang digelar di Wisma Candi Banyunibo, Sleman, pada pukul 13.30 WIB. Agus Budi Rachman, Selaku Wakil Ketua ODTW(Obyek Daya Tarik Wisata) GIPI, hadir sebagai narasumber untuk mengupas tuntas pentingnya penerapan standar usaha pariwisata berisiko menengah hingga tinggi.Rabu:21/05/2025 di Pendopo Wisata Candi Banyunibo Sleman Yogyakarta

“Semakin ekstrem suatu destinasi, semakin tinggi pula daya tariknya. Tapi kita juga harus sadar, risikonya pun tak main-main,” ujar Agus. Ia mencontohkan aktivitas seperti paralayang di Bukit Gupit, lava tour Merapi, hingga cave tubing di Goa Pindul sebagai destinasi yang memerlukan manajemen risiko tingkat tinggi.
Namun, di balik senyum ramah para pelaku wisata dan wajah memesona destinasi-destinasi tersebut, tersembunyi persoalan serius: SOP yang belum mengakar, simulasi darurat yang minim, hingga sikap permisif yang menganggap “sudah biasa” sebagai pembenaran.
“Kita ini menjual pengalaman luar biasa, tapi kadang abai pada protokol keselamatan. Ini ironis,” tegasnya.
Menurut Agus, standar usaha jasa pariwisata seharusnya bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah kontrak moral—refleksi dari tanggung jawab bersama antara pelaku usaha dan wisatawan. Sayangnya, di lapangan, dokumen itu sering hanya menjadi formalitas, bukan panduan etis dalam bekerja.
Tiga pertanyaan pun menjadi renungan bersama:
Apakah kita sudah siap? Ini bukan sekadar soal izin, tapi soal integritas.
Apakah kita benar-benar aman? Ini bukan soal angka, tapi soal kejujuran operasional.
Apakah kita bertanggung jawab? Ini bukan hanya perkara hukum, tapi juga kemanusiaan.
Agus mengajak semua pihak—akademisi, pelaku industri, pemerintah, hingga masyarakat—untuk tidak terburu-buru mengejar angka kunjungan semata. “Beranilah melambat. Renungkan kembali bahwa tidak ada kualitas tanpa keselamatan,” tandasnya.
Refleksi ini bukan sekadar retorika, tetapi panggilan untuk menulis ulang narasi pariwisata DIY—dimulai dengan bab pertama: keselamatan.Pungkas:Rachman(Tyo)