
NASIONALTERKINI.Yogyakarta, kota yang sejak lama dijuluki sebagai kota budaya dan pendidikan, tak pernah kehabisan cara untuk menyampaikan pesan-pesan kebangsaan dengan cara yang halus namun membekas. Di antara ragam wahana edukatif dan atmosfer ceria khas Taman Pintar, berdirilah satu monumen yang diam namun bersuara, statis namun menggetarkan kesadaran: Gong Perdamaian Nusantara. Monumen ini bukan sekadar elemen dekoratif taman; ia adalah pesan simbolik yang berdiri kokoh di tengah pusaran arus zaman yang sering kali melupakan nilai dasar kemanusiaan dan keindonesiaan.
Diresmikan pada 20 Mei 2008, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, gong ini mengandung makna yang jauh lebih dalam daripada yang tampak. Dengan tanah dari 33 provinsi sebagai fondasinya, Gong Perdamaian tidak hanya merepresentasikan keberagaman Indonesia secara fisik, tetapi juga menyatukan memori, identitas, dan harapan dari seluruh penjuru Nusantara ke dalam satu resonansi: damai dalam keberagaman, satu dalam perbedaan.
Agus Budi Rahman, selaku pengelola Taman Pintar Yogyakarta, menjelaskan bahwa Gong Perdamaian ini bukan sekadar hiasan, melainkan sarana edukatif dan reflektif yang ditujukan untuk membentuk karakter kebangsaan sejak dini. “Kami berharap anak-anak dan para pengunjung bisa memahami bahwa keberagaman bukanlah ancaman, tapi justru kekuatan. Gong ini adalah simbol dari semangat itu,” ujarnya.Kamis;24/04/2025 di Taman Pintar Yogyakarta

Gong Perdamaian yang diresmikan Sri Sultan Hamengku Buwono X, seakan ingin mengirimkan pesan: bahwa dari Bumi Mataram, dari Jogja yang dikenal sebagai poros budaya dan kearifan lokal, suara damai harus terus dipukul dan digaungkan, agar menggema ke seluruh penjuru negeri. Gong ini adalah pengingat bahwa nasionalisme bukan hanya milik masa lalu yang heroik, tetapi juga tugas kontemporer yang menuntut keberanian, kesadaran, dan keikhlasan.
Namun kini, dua dekade setelah Reformasi, kita harus bertanya dengan jujur: Apakah nilai-nilai yang disimbolkan oleh gong itu masih hidup di tengah kita? Ketika politik identitas makin tajam, perbedaan menjadi alat konflik, dan toleransi sering kalah oleh fanatisme, Gong Perdamaian hadir sebagai kritik diam terhadap arah peradaban yang kita pilih. Ia tidak bicara, tetapi diamnya adalah seruan paling lantang: sudahkah kita sungguh-sungguh membangun bangsa ini dengan fondasi damai, atau hanya menumpuk retorika di atas tanah yang rapuh?
Keberadaan tapak kaki dan tangan para presiden Republik Indonesia di lokasi yang sama memperkuat makna situs ini sebagai ruang historis dan kontemplatif. Ia bukan hanya mengabadikan jejak kekuasaan, tetapi menjadi panggung narasi kepemimpinan bangsa: bahwa setiap langkah pemimpin harus meninggalkan jejak kebijaksanaan, bukan sekadar popularitas sesaat. Dalam konteks ini, Taman Pintar mengajukan tantangan: mampukah generasi hari ini dan pemimpin masa depan membunyikan kembali gong dengan makna yang otentik, bukan semata seremoni?
“Gong ini adalah pengingat dan sekaligus penguji. Apakah kita masih mampu menjaga kebhinekaan sebagai kekuatan bangsa? Apakah kita masih memiliki keberanian untuk membela nilai-nilai kebangsaan di tengah tantangan zaman?” tambah Agus.
Taman Pintar Yogyakarta pun menjelma menjadi lebih dari sekadar taman edukatif. Ia adalah ruang publik yang menggabungkan pendidikan, sejarah, budaya, dan nasionalisme dalam bentuk yang menyenangkan namun mendalam. Ini adalah bentuk pendidikan karakter yang tidak menggurui, tetapi mengajak berpikir. Di tengah krisis identitas global, tempat ini menawarkan ruang jeda: untuk merenung, merefleksikan kembali makna menjadi manusia Indonesia.Papar:Agus
Maka dari itu, Gong Perdamaian Nusantara bukan hanya milik Yogyakarta. Ia adalah milik bangsa. Ia adalah narasi tentang harapan yang tak boleh padam. Bahwa di tengah segala perbedaan, kita tetap bisa memilih untuk bersuara bersama, dalam nada yang harmonis.Ungkapnya
Karena bangsa ini tidak akan runtuh oleh kerasnya pukulan musuh, tetapi oleh lemahnya resonansi nilai yang tak lagi diperdengarkan. Dan mungkin, gong ini sedang menunggu satu hal: keberanian kita untuk memukulnya, bukan dengan tangan, tapi dengan nurani yang sadar dan jiwa yang terbuka.Pungkas:Agus(Tyo/An)