
NASIONALTERKINI.Sejarah itu hidup, bukan sekadar deretan tahun dan nama di buku. Dan bagi Agus Budi Rachman, pencinta sejarah yang baru saja pulang dari perjalanannya keliling Eropa, Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman Empire) bukan sekadar kerajaan masa lalu—tapi cerminan peradaban yang mengalami siklus besar: lahir, berkembang, berjaya, dan akhirnya runtuh.

Dari mimpi kosmopolitan hingga bayang-bayang kehancuran, begini perjalanan epik Ottoman selama 624 tahun (1299–1922).

Fajar: Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Bayangkan Anatolia di abad ke-14: wilayah terpecah belah, kerajaan-kerajaan kecil saling bersaing. Dari sini, Osman I—pemimpin suku kecil—memulai perjalanan ambisiusnya. Cucu keturunannya, Mehmed II, membawa mimpi ini ke puncaknya dengan menaklukkan Konstantinopel (1453). Kota yang selama seribu tahun dianggap tak terkalahkan akhirnya jatuh, dan berubah menjadi Istanbul—jantung baru dunia Islam.Ujarnya saat di temui di Yogyakarta;Rabu;05/03/2025

Hagia Sophia, simbol kejayaan Bizantium, diubah menjadi masjid, mencerminkan bagaimana Ottoman memadukan budaya Timur dan Barat. Sultan bukan sekadar pemimpin politik, tapi juga “bayangan Tuhan di bumi”, menyatukan agama dan kekuasaan dalam satu entitas. Ini bukan sekadar ekspansi wilayah, tapi kelahiran identitas baru.

Puncak: Era Keemasan di Bawah Suleiman Agung

Jika ada satu nama yang mewakili kejayaan Ottoman, itu adalah Suleiman Agung (1520–1566). Di eranya, Istanbul menjadi pusat dunia: arsitektur megah seperti Masjid Süleymaniye berdiri, hukum direformasi, seni dan sains berkembang.paparnya

Salah satu sistem brilian yang membuat kerajaan ini kuat adalah devşirme—program rekrutmen anak-anak Kristen untuk dilatih menjadi Janissari (elite militer) dan pejabat tinggi. Hasilnya? Administrasi yang kuat, pasukan yang tangguh, dan kekaisaran yang terus meluas.
Namun, seperti istana yang terlalu besar, Utsmaniyah mulai kesulitan mengurus semua ini. Wilayah yang terlalu luas, birokrasi yang makin kompleks, dan ketergantungan pada sistem lama menjadi titik lemah yang diam-diam menanti waktu untuk runtuh.

Senja: Perlahan Menuju Kemunduran
Kekalahan Ottoman di Wina (1683) menjadi sinyal awal kemunduran. Satu demi satu, wilayahnya mulai lepas. Sultan-sultan berikutnya tak sekuat pendahulunya, korupsi merajalela, inovasi terhambat.
Untuk mengejar ketertinggalan dari Eropa yang sudah memasuki era revolusi industri, Ottoman mencoba melakukan Reformasi Tanzimat (1839)—modernisasi di bidang pendidikan, hukum, dan militer. Namun, reformasi ini justru ditolak oleh banyak pihak yang merasa tradisi sedang dikorbankan. Ottoman terjebak dalam dilema: ingin berubah, tapi tubuhnya sudah terlalu rapuh.

Kegelapan: Perang dan Akhir Sebuah Imperium
Perang Dunia I (1914–1918) menjadi pukulan terakhir. Berpihak pada Jerman yang kalah, Ottoman dipaksa menerima kenyataan pahit: wilayahnya dipecah oleh Sekutu.Jelasnya
Lalu datanglah Mustafa Kemal Atatürk, seorang jenderal muda dengan visi baru. Tahun 1922, ia membubarkan kekhalifahan dan mendirikan Republik Turki yang sekuler. Kesultanan yang pernah menguasai tiga benua runtuh, bukan dengan ledakan, tapi dalam keputusasaan.

Refleksi: Pelajaran dari Sejarah

Utsmaniyah mengajarkan kita dua hal penting:
- Adaptasi atau mati. Mereka gagal karena terlalu lama bertahan pada sistem lama, sementara dunia terus berubah.
- Identitas vs. perubahan. Reformasi Tanzimat dianggap sebagai “pengkhianatan” oleh beberapa kalangan, padahal mungkin itu satu-satunya jalan penyelamat”Di era globalisasi ini, pertanyaannya tetap sama: Bagaimana menjaga identitas tanpa menolak kemajuan

Sejarah Utsmaniyah bukan hanya masa lalu. Ia adalah peringatan bahwa setiap kejayaan menyimpan benih keruntuhannya sendiri. Namun, seperti roda sejarah yang terus berputar, setelah malam yang gelap, fajar akan datang lagi.Pungkas:Agus(Tyo)