
NASIONALTERKINI. Kota Yogyakarta melangkahnya sebagai pusat kreativitas dan kebudayaan dunia. Setelah ditetapkan sebagai World Batik City, kini muncul gagasan besar untuk mengangkat Jogja menjadi salah satu pusat fashion dunia. Sebuah gagasan yang tidak sekadar menghadirkan busana indah di panggung, tetapi juga menghidupkan denyut ekonomi, memberdayakan masyarakat, dan meneguhkan jati diri budaya bangsa.Rabu:10/09/2025

Tazbir Abdulah, salah satu anggota tim Jogja Fashion Dunia, menegaskan bahwa ide ini berangkat dari potensi besar yang sudah dimiliki Jogja. “Jogja ini kan sudah menjadi kota batik dunia. Dari sisi batik saja kita punya kekuatan luar biasa: desainer banyak, pembatik banyak, inovasi melimpah. Tapi kalau hanya menjual batik sebagai kain biasa, nilai ekonominya terbatas. Yang kita dorong adalah transformasi: menjadikan batik dan busana lokal kita bagian dari fashion dunia, sehingga nilainya berlipat dan pergerakan ekonominya semakin luas,” ujarnya.
Budaya sebagai Sumber Daya Utama
Jogja bukanlah daerah dengan sumber daya alam melimpah seperti tambang atau perkebunan raksasa. Namun Jogja memiliki kekuatan yang tak kalah penting: sumber daya budaya. Dari batik, lurik, hingga ekoprint, setiap helai kain adalah narasi panjang tentang sejarah, kearifan lokal, dan kreativitas yang diwariskan lintas generasi.
“Kalau kita mampu menjadikan fashion Jogja bertaraf internasional, maka budaya kita tidak hanya dilestarikan, tapi juga diberdayakan. Di situlah ekonomi berbasis budaya bekerja. Kita tidak sekadar memproduksi, tetapi juga mencipta, mengolah, dan mengangkat nilai lokal ke level dunia,” lanjut Tazbir.
Integrasi Ekonomi dan Kolaborasi Lintas Sektor
Untuk mewujudkan visi besar ini, diperlukan langkah nyata dan terukur. Tazbir menekankan perlunya integrasi antarinstansi pemerintah dan kolaborasi dengan masyarakat. Dinas Pariwisata, Perdagangan, Perindustrian, hingga Kebudayaan harus menyatu dalam satu visi. Demikian pula para desainer, pembatik, pengrajin lurik, hingga pelaku UMKM lokal harus bergerak bersama.
“Fashion dunia itu bukan sekadar soal panggung, tapi juga perdagangan. Ada dua arah yang harus ditempuh: pertama, merambah pasar internasional; kedua, menarik dunia datang ke Jogja. Jadi ini bukan kerja asal-asalan, tapi kerja serius yang terukur. Harus ada komitmen dari semua pihak, dan program yang jelas,” tegasnya.
Dari Jogja untuk Dunia
Fenomena Jogja Fashion Week yang hingga kini terus bertahan menjadi bukti nyata bahwa Jogja memiliki daya saing nasional. Jika Jakarta punya Jakarta Fashion Week, maka Jogja hadir sebagai panggung yang mengangkat wajah budaya sekaligus mode modern. Ke depan, dengan inisiatif Jogja Fashion Dunia, even-even serupa bisa diperluas hingga ke kabupaten dan kota, menciptakan ekosistem mode yang merata dan inklusif.
Dalam filosofi Jawa, busana tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi juga sebagai perwujudan jati diri, doa, dan harapan. Batik dengan motifnya mengandung simbol-simbol kehidupan, lurik dengan garisnya menyiratkan kesederhanaan dan keteguhan, sementara ekoprint menghadirkan harmoni antara manusia dan alam. Jika filosofi ini diolah dengan sentuhan kreativitas modern, Jogja bukan hanya memproduksi pakaian, melainkan menenun cerita budaya yang bisa dipakai dan dirayakan oleh dunia.
Menuju Gerbang Masa Depan
Tazbir menutup dengan keyakinan, bahwa langkah ini bukan sekadar mimpi. “Kalau kita serius, lima sampai sepuluh tahun ke depan Jogja bisa benar-benar menjadi pusat fashion dunia. Kuncinya adalah kerja bersama, terukur, dan selalu berlandaskan pada potensi budaya kita. Inilah jalan agar Jogja tidak hanya dikenal sebagai kota pelajar dan kota budaya, tetapi juga kota fashion dunia.”
Gagasan besar ini ibarat membentangkan kain panjang. Benangnya adalah kreativitas, motifnya adalah budaya, dan warnanya adalah harapan. Ketika seluruh elemen bersatu, kain itu akan terjalin menjadi busana indah yang dikenakan dunia. Jogja, dengan segala kearifan dan potensinya, kini tengah menjahit jalannya menuju panggung global.Pungkas:Tazbir(Tyo)