
NASIONALTERKINI. Kala malam menjingga menuju pekat, Sabtu, 5 Juli 2025, Lembah Wukir di Dusun Grojogan tak sekadar diselimuti kabut dan angin. Ia dipenuhi getar makna. Di sanalah, pada Pasareyan Pangeran Joko dan Pangeran Alit, berlangsung “Umbul Donga” — bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ziarah kesadaran; sebuah penghormatan batin pada pusaka yang tak berwujud: nilai, jejak, dan jiwa para leluhur.

Bertepatan dengan 10 Muharram 1447 Hijriah — atau 10 Sura Tahun Dal 1959 dalam hitungan Jawa — malam itu menjelma simpul antara waktu dan makna. Di hadapan makam yang diam, warga berkumpul dalam harmoni, seolah menyulam kembali benang-benang warisan spiritual yang lama terpendam dalam denyut sejarah. Pangeran Joko dan Pangeran Alit bukan lagi sekadar nama, melainkan cermin nilai: keteguhan, keteduhan, dan keberanian menjaga marwah Grojogan melampaui zaman.


Roi Hermawan, Dukuh Grojogan, menyebut kegiatan ini sebagai manifestasi dari kesadaran kolektif masyarakat menjaga akar kebudayaan. “Kalau tidak kita rawat, kearifan ini akan hilang ditelan zaman,” ungkapnya. Dalam konteks filsafat hidup Jawa, merawat tradisi adalah menjaga nyala jiwa — sebuah tugas suci agar yang lampau tetap menjadi lentera bagi yang kini dan nanti.


Pemerintah Kalurahan Tamanan pun memberi dukungan melalui kehadiran Kasie Jagabaya, Pardiyana. Ia menekankan pentingnya upaya pelestarian tak hanya demi gelar administratif seperti “Desa Rintisan Budaya”, tapi demi menjaga ruh identitas. “Ini bukan sekadar syarat administratif, ini soal eksistensi diri sebagai masyarakat yang punya akar,” ucapnya.
Selepas doa, warga berbagi sega gurih — sajian sederhana namun sarat makna. Dalam laku hidup Jawa, makan bersama adalah upacara persaudaraan: menghapus sekat, menyatukan rasa, menghidupkan kembali konsep guyub dan srawung. Makanan bukan hanya asupan raga, tetapi juga persembahan rasa syukur dan harapan akan limpahan berkah.paparnya
Puncak acara adalah ziarah ke pusara Pangeran Joko dan Pangeran Alit. Dalam hening tabur bunga dan lirih doa, warga menyentuh kembali lapisan terdalam dari kesadaran spiritual. Makam bukan lagi tempat perhentian tubuh, melainkan titik temu antara sejarah dan kekinian, antara yang telah pergi dan yang masih berjalan.Imbu:Roi
Lembah Wukir, dalam kesahajaannya, menjelma taman filsafat: tempat di mana waktu melipat, ruang menyatu, dan jiwa menyapa jiwa. Grojogan tak hanya hadir sebagai tempat, melainkan sebagai makna yang hidup. Ia adalah tanah suci dalam pengertian batin, tempat peradaban terus tumbuh dalam diam, dalam doa, dalam Umbul Donga — yang dari generasi ke generasi, tak pernah padam.Pungkas:Roi(Tyo)
