
NASIONALTERKINI. Dunia tahun 2025 tidak hanya bergerak menuju multipolaritas, tetapi juga sedang diuji dalam krisis kesadaran kolektif. Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Uni Eropa, India hingga kawasan Timur Tengah terlibat dalam perebutan pengaruh. Namun, perebutan itu menyembunyikan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah ekonomi global masih sekadar arena kompetisi, atau dapat menjadi ruang untuk harmoni?
Agus Budi Rachmanto, M.Sc, lulusan pasca sarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan anggota Asia Pacific Network of Science & Technology Centres (ASPAC), menyebut kondisi ini sebagai “era multipolaritas rapuh” — di mana ketidakpastian geopolitik bersinggungan dengan krisis energi, pangan, hingga iklim.Ujarnya:Minggu:14/09/2025
Makroekonomi Global: Dari Supply Chain ke Krisis Kesadaran
Dalam level makro, fragmentasi rantai pasok, transisi energi, dan dominasi teknologi digital menjadi penentu arus kapital dunia. Volatilitas harga pangan dan energi bisa mengguncang stabilitas fiskal negara-negara berkembang. Namun, di balik turbulensi itu, ada peluang: transformasi menuju ekonomi hijau dan digital yang lebih setara.
Filosofi Jawa memberi perspektif kritis:
Data Sawala → fragmentasi global seharusnya membuka ruang dialog, bukan sekat.
Padha Jayanya → distribusi akses teknologi harus setara, bukan monopoli raksasa digital.
Maga Bathanga → transisi energi menuntut kesadaran keterbatasan sumber daya bumi.
Mikroekonomi: Perilaku Baru dalam Konsumsi dan Produksi
Di tataran mikro, perubahan perilaku konsumen dan produsen menentukan wajah baru ekonomi. Konsumen kini ditantang untuk berbelanja kritis dan hijau, sementara produsen dipaksa beradaptasi dengan standar etika dan keberlanjutan. Pasar global bukan lagi sekadar ruang perebutan, melainkan arena kontestasi nilai.
“Jika ekonomi terus dilihat sebagai zero-sum game, maka kita akan terjebak dalam krisis tanpa ujung. Tetapi bila pasar menjadi ruang dialog, harmoni bisa lahir,” ujar Agus.
Indonesia di Persimpangan
Sebagai anggota G20 dan pemimpin ASEAN, Indonesia dihadapkan pada pilihan strategis: tetap menjadi “pasar besar” atau menjelma menjadi simpul peradaban baru.

Makro: memainkan diplomasi energi hijau, digital inklusif, dan bebas-aktif di antara blok besar.
Mikro: mendorong UMKM berbasis budaya Nusantara naik kelas lewat digitalisasi.
Ekologi: menjadikan kearifan lokal sebagai solusi adaptif krisis iklim.
Proyeksi: Antara “Obor Harmoni” dan “Krisis Kesadaran”
Indonesia dapat menempuh tiga skenario:
- Optimis – menjadi hub energi terbarukan dan digital ASEAN, pertumbuhan GDP stabil di atas 6%.
- Moderat – adaptasi terkendali dengan pertumbuhan 4–5%.
- Pesimis – terjebak dalam krisis kesadaran, pertumbuhan melemah di bawah 3,5%, ekonomi digital dikuasai asing.
Paradigma Baru: Dari Kuasa ke Harmoni
Agus menegaskan, dunia tidak membutuhkan raksasa ekonomi baru semata, tetapi kepemimpinan moral, spiritual, dan kultural. “Indonesia punya modal itu—dengan filosofi Jawa: dialog (Data Sawala), kesetaraan (Padha Jayanya), dan kerendahan hati (Maga Bathanga). Jika itu diintegrasikan dalam strategi makro dan mikro, Indonesia bisa tampil sebagai laboratorium harmoni ekonomi global.”Tutup:Agus(Tyo)