
NASIONALTERKINI. Sebuah pagi yang hangat di pegunungan Menoreh membuka perbincangan santai namun bermakna dengan seorang sosok inspiratif bernama Tio, yang akrab disapa Mas Tio Trajumas. Di sebuah kedai sederhana, Trajumas Java Coffee, Mas Tio bercerita tentang perjalanannya mengangkat kopi lokal menjadi jembatan ekonomi desa dan kecintaan pada alam.
“Saya tinggal di kawasan perbukitan Trajumas, dan nama kopi ini pun kami ambil dari situ. Awalnya, keresahan saya sebagai anak muda melihat potensi desa yang belum tergarap dengan baik menjadi pemicu,” ujar Tio sambil menyeduh kopi:Senin:14/07/2025

Dari Kegelisahan, Lahir Sebuah Gerakan
Pada akhir 2019, Mas Tio bersama rekan-rekannya — Pak Sugeng, Mas Endra, dan Mas Basuki — mulai memetakan potensi pertanian di daerahnya, tepat sebelum pandemi. Dari hasil penelitian, mereka menemukan bahwa di hampir setiap rumah di wilayahnya terdapat tanaman kelapa, cengkeh, pisang, dan kopi. Keempat komoditas itu mereka sebut sebagai kultur desa, karena sudah mengakar sejak zaman dahulu.
Namun, setelah menganalisis lebih lanjut, hanya kopi yang dianggap paling stabil dan aman secara ekonomi serta lingkungan. “Kelapa dan cengkeh terlalu tinggi dan berisiko. Pisang menyerap nutrisi tanah terlalu banyak. Akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada kopi,” jelas Tio.

Hitungan Cerdas dan Potensi Ekonomi
Mas Tio tak asal tanam. Ia dan timnya melakukan uji coba terhadap 24 batang kopi milik seorang warga bernama Pak Sunarto. “Usia pohon delapan tahun, dan satu pohon bisa menghasilkan 11 kilogram. Kalau punya 2.000 batang, itu bisa jadi 20 ton kopi. Kali harga Rp6.000 aja sudah Rp120 juta per tahun. Sebulan bisa Rp10 juta,” paparnya dengan semangat.

Ia menekankan, kopi bisa menjadi investasi jangka panjang yang menjanjikan bagi petani desa. “Tujuan kami bukan sekadar menanam, tapi menciptakan desa mandiri, meningkatkan ekonomi, dan mengurangi pengangguran,” katanya. Maka dari itu, konsep yang ia usung adalah pertanian kopi terpadu dari hulu ke hilir — mulai dari bibit, budidaya, hingga pasca panen dan penyajian.
Arabika, Robusta, hingga Wine: Menjaga Rasa dan Budaya
Trajumas Java Coffee kini mengembangkan tiga varietas kopi: Arabika, Robusta, dan Liberika. Untuk Liberika sendiri, mereka memiliki dua varian, yaitu biji besar dan kecil (daun lebar dan daun kecil). Salah satu jenis Robusta yang mereka kembangkan adalah Robusta Tiung, dikenal dengan buahnya yang lebat namun pohonnya tinggi.

Lebih dari sekadar produksi, Mas Tio sangat memperhatikan kualitas dan proses. Ia menjelaskan perbedaan proses natural, honey, hingga wine — yang semuanya punya karakter rasa unik. Untuk proses wine, misalnya, membutuhkan fermentasi selama 28 hari dalam wadah tertutup sebelum dijemur.

“Petani harus tahu rasa kopinya. Jangan asal jual. Rasakan dulu. Kalau mereka sudah cinta dan paham rasa, hasilnya akan beda. Bukan hanya kopi yang enak, tapi hidup juga terasa lebih nikmat,” ucapnya dengan senyum tulus.
Penyimpanan dan Penyajian yang Penuh Perhatian
Bagi Mas Tio, kualitas kopi bukan hanya soal biji, tapi juga penyimpanan. “Kami simpan minimal setahun, idealnya dua hingga lima tahun. Disimpan di karung goni, dibungkus plastik, dan dijaga 1 meter dari tanah agar aromanya tetap kuat,” jelasnya.
Untuk penyajian, Trajumas punya gaya sendiri. Saat membuat iced americano, misalnya, mereka membiarkan espresso langsung menetes ke atas bongkahan es — menghasilkan efek retakan es yang khas, sekaligus menjaga rasa tetap konsisten.
Lebih dari Sekadar Bisnis
“Tanamkan rasa cinta dan syukur pada pohon kopi. Jangan ambisi jadi cepat kaya, tapi pahami dan hayati prosesnya. Tuhan sudah kasih banyak buah tanpa kita minta. Itu sudah anugerah,” ucap Mas Tio menutup perbincangan.
Trajumas Java Coffee bukan sekadar nama. Ia adalah semangat, cerita, dan harapan dari desa di lereng Menoreh yang ingin bangkit lewat secangkir kopi. Dan Mas Tio, dengan kepekaan dan kecintaannya pada alam, menjadi salah satu pemuda yang menjadikannya nyata.Pungkas:Tio(Tyo)