
NASIONALTERKINI. Dari lembaran manuskrip kuno yang tersimpan rapi di keraton hingga rasa yang tersaji hangat di meja makan masa kini; dari liukan jemparingan yang hening hingga tembang mocopat yang meresap lembut ke relung batin—Jogja Culture Wellness Festival (JCWF) 2025 menghadirkan kembali kearifan Jawa sebagai pengalaman hidup yang utuh. Bukan sekadar festival, melainkan perjalanan pulang ke akar budaya untuk merawat tubuh, pikiran, dan jiwa.

Memasuki tahun ketiga penyelenggaraannya dengan tema “Local Wisdom for Wellness,” JCWF 2025 digelar sepanjang November di berbagai titik Yogyakarta. Festival ini menjadi ruang perjumpaan antara tradisi dan kesadaran baru; mempertemukan komunitas wellness, budayawan, seniman, pelaku pariwisata, hingga masyarakat yang rindu akan makna.

“Kami ingin menghadirkan kearifan lokal sebagai sumber kesejahteraan, bukan hanya bagi tubuh tapi juga bagi batin,” tutur Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara saat membuka festival di Mustika Yogyakarta Resort & Spa, Sabtu:01/11/2025

Putri bungsu Sri Sultan Hamengkubuwono X itu menegaskan, wellness tourism bukan sekadar fenomena global, namun jalan baru pariwisata berbasis nilai dan kesadaran.
“Jogja memiliki filosofi hidup yang menempatkan keseimbangan lahir dan batin sebagai inti kebahagiaan. Itu modal budaya yang tidak dimiliki semua tempat,” ujarnya.
Dari Naskah Kuno Menjadi Rasa yang Menghidupkan
Salah satu program paling menggugah adalah “Manuskrip to Table”—sebuah penjelajahan rasa yang menerjemahkan teks-teks tua Nusantara menjadi pengalaman kuliner. Naskah kuno tidak hanya dibaca atau dipajang; ia dihidupkan kembali melalui cita rasa, sehingga budaya tak berhenti sebagai warisan, tetapi menjadi kehadiran yang bisa dirasakan, dicicip, dan dinikmati.

Beberapa sajian merupakan rekonstruksi dari relief Candi Borobudur dan Prambanan, catatan serat kuno, serta resep tradisional Jawa yang hampir terlupakan:
- Ikan beong dari perairan Kulon Progo,
 - Nasi jali yang tercatat dalam manuskrip klasik,
 - Aneka sambal dan racikan herbal yang disusun dari pengetahuan leluhur.
 
“Budaya bukan masa lalu yang diam. Ia hidup, bernafas, dan ingin kita alami hari ini,” ungkap GKR Bendara.
Wellness sebagai Pengalaman Budaya, Bukan Produk
Festival ini disusun sebagai laku dan perjalanan rasa. Setiap pekan mengangkat tema berbeda—Healthy Food, Healthy Living, Spiritual Wellness, hingga Inner Child Healing. Puncaknya, konser reflektif Punto Aji di Asram Jogja menjadi penutup dan ruang pelepasan batin, seolah menjadi titik pulang dari perjalanan jiwa selama sebulan penuh.

Peserta diajak keluar dari rutinitas dan kembali pada kearifan tubuh—melalui jemparingan, memanah tradisional yang mengandung filosofi olah rasa; hingga mocopat, nyanyian tembang Jawa yang dikemas sebagai meditasi untuk merawat kesadaran batin.

“Jawa telah lama menyimpan praktik wellness dalam tradisinya. Kita hanya perlu menyadari ulang bahwa akar keseimbangan itu ada dalam diri kita dan budaya kita sendiri,” tambah GKR Bendara.

Wellness sebagai Sebuah Laku Hidup
Selain program pengalaman, festival juga menghadirkan produk dan layanan berbasis wellness: jamu, aromaterapi, pangan organik, hingga seni penyembuhan tradisional. Namun esensi festival ini bukan pada transaksi, melainkan transformasi. Wellness bukan “tren” yang diikuti; ia adalah laku hidup.
Pasar wellness global memang bernilai besar, namun sifatnya mendalam, personal, dan intim. Tidak mengejar jumlah pengunjung, tetapi kualitas pengalaman dan keterhubungan—antara manusia, budaya, dan alam.
Karena itu, GKR Bendara menegaskan arah baru pariwisata Yogyakarta harus berbasis nilai, kedalaman, dan keberlanjutan.
“Jogja bisa menjadi laboratorium hidup bagi wellness berbasis budaya: tempat kita belajar bahwa kesehatan, kebahagiaan, dan kedamaian tumbuh dari keselarasan hidup.”(Tyo)
