
NASIONALTERKINI. Di bawah temaram cahaya blencong yang menari di balik kelir, langit Kadipaten Pakualaman tampak berwibawa dan teduh. Pada Sabtu Kliwon, 25 Oktober 2025, masyarakat berkumpul di Alun-Alun Sewandanan Pakualaman, Jalan Masjid No. 46, Gunungketur, Pakualaman, Kota Yogyakarta, untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit bertajuk “Wahyu Widayat”. Pagelaran ini menjadi bagian dari peringatan Pengetan Dinten Wiyosan Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam X, sekaligus rangkaian Upacara Adat Ganti Bergada—tradisi khas Pakualaman yang penuh makna kesetiaan dan pengabdian.
Malam itu, Ki Dicky Yoga Mahendra duduk bersila di balik kelir, menghidupkan tokoh-tokoh pewayangan dengan tutur lembut nan mendalam. Kisah Wahyu Widayat pun dimulai—sebuah perjalanan batin seorang ksatria bernama Raden Wijanarka, yang berkelana mencari wahyu sejati, petunjuk ilahi yang menuntun manusia pada kebijaksanaan hidup.
Dalam lakon ini, Wijanarka menempuh jalan panjang yang penuh ujian. Ia bertarung melawan keangkaramurkaan dan ambisi kekuasaan, namun pertarungan sesungguhnya justru terjadi dalam dirinya sendiri: melawan kesombongan, amarah, dan keraguan hati. Di puncak pertapaannya, ia menyadari bahwa wahyu tidak akan turun kepada hati yang kotor oleh pamrih. Wahyu Widayat sejatinya bukan cahaya dari langit, melainkan kesadaran yang tumbuh dari ketulusan dan kejernihan jiwa.
“Wayang kulit tidak hanya tontonan, tapi juga tuntunan hidup,” tutur Romo Dony Surya Megananda, Kepala Museum Wayang Kekayon Yogyakarta, yang turut hadir dalam acara tersebut. “Lakon Wahyu Widayat mengajarkan bahwa kebijaksanaan lahir dari keseimbangan antara laku spiritual dan tanggung jawab sosial. Saat manusia mampu menaklukkan nafsunya, ia menemukan dirinya yang sejati:Sabtu:25/10/2025

Suara sinden menggema lembut, berpadu dengan tabuhan kendang dan petikan siter yang meneduhkan suasana. Bayangan wayang yang menari di atas kelir menjadi lambang perjalanan manusia—dari gelap menuju terang, dari kebingungan menuju pencerahan. Malam itu, seni dan spiritualitas berpadu dalam satu napas di bawah langit Pakualaman.
Sejak siang hari, kawasan Sewandanan telah ramai oleh rangkaian kegiatan budaya yang mendahului pagelaran wayang. Penampilan tari Geol Denok dari Sanggar Pandhowo Mudo dan Jathilan Kreasi Pandhowo Mudho dari Sleman memeriahkan sore hari. Sementara grup musik Naftalena menghadirkan nuansa segar sebelum malam tiba, disusul oleh Kagama Sekar Gendhing dan Kagama Beksan Jogja yang menampilkan Beksan Golek Asmaradana menjelang pementasan wayang dimulai pukul 20.00 WIB.

Pagelaran ini merupakan bagian tak terpisahkan dari Upacara Adat Ganti Bergada (Ganti Dwaja), tradisi turun-temurun di Kadipaten Pakualaman yang digelar setiap 35 hari sekali, bertepatan dengan weton Sri Paduka KGPAA Paku Alam X. Dalam prosesi ini, dilakukan penggantian pasukan penjaga (bregada), seperti Bregada Plangkir dan Lombok Abang, yang melambangkan pergantian tugas, kesetiaan, dan ketulusan pengabdian kepada pemimpin dan tanah air.Papar:RM. Dony
Upacara ini bukan sekadar simbol militer, melainkan cermin filosofi kehidupan Jawa: bahwa setiap jabatan dan tugas adalah amanah, yang harus dijalani dengan rendah hati dan keikhlasan. Maka ketika malam tiba dan Wahyu Widayat mengisahkan perjalanan menuju kebijaksanaan, para penonton pun seolah diajak merenungkan makna yang sama—tentang kesetiaan, tanggung jawab, dan cahaya kebenaran yang abadi di hati manusia. Tutup:RM. Dony(Tyo)
