
NASIONALTERKINI. Menjelang peringatan boyongan kedaton, Agus Budi Rachmanto, Pengamat Sosial Budaya sekaligus Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY, menuturkan pandangannya tentang ziarah ke makam para Sultan Yogyakarta. Menurutnya, ziarah yang dilakukan masyarakat bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan ruang refleksi yang menyuarakan pesan damai dan meneguhkan demokrasi tanpa kekerasan.
Ziarah sebagai Ruang Ingatan Kolektif
Di bawah rindang pepohonan makam para Sultan, masyarakat menundukkan kepala dalam hening. Agus Budi menilai, kehadiran mereka adalah bentuk penghormatan sekaligus kontemplasi. “Kepemimpinan itu bukan hanya urusan politik, melainkan bagaimana merawat keseimbangan hidup,” ujarnya.Jumat:03/10/2025 di Makam Raja Imogiri Bantul Yogyakarta

Dalam perspektif ini, ziarah dapat dipahami sebagai praktik ingatan kolektif. Makam bukan sekadar batas kematian, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Sri Sultan Hamengku Buwono I dikenang sebagai pendiri Kesultanan Yogyakarta yang mewariskan nilai ketertiban negara. Hamengku Buwono III dengan kebijakan welas asih, Hamengku Buwono VII yang mendorong modernisasi, hingga Hamengku Buwono IX yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan—semuanya menegaskan hal yang sama: kepemimpinan adalah pengabdian, bukan dominasi.
Boyongan Kedaton: Simbol Keterhubungan
Tradisi boyongan kedaton, yang digelar untuk memperingati perpindahan pusat pemerintahan ke Keraton Yogyakarta, sarat makna simbolis. Agus Budi menjelaskan bahwa tradisi ini bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan simbol keterhubungan antara raja dan rakyat, antara leluhur dan generasi penerus.
Dalam pandangan kosmologi Jawa, manusia, alam, dan Sang Pencipta adalah satu kesatuan kosmos yang harmonis. Karena itu, ziarah yang mengiringi boyongan kedaton menjadi momen untuk menghidupkan kembali nilai damai, welas asih, dan nguwongke uwong—memanusiakan manusia—yang diwariskan para Sultan.
Pesan Damai yang Melampaui Waktu
Dalam suasana hening ziarah, Agus Budi menegaskan bahwa pesan damai para Sultan melintasi sekat waktu. Sultan Agung mengajarkan kedaulatan yang berakar pada budaya, Hamengku Buwono I menata kearifan tata negara, dan Hamengku Buwono IX menunjukkan teladan kepemimpinan egaliter yang tak segan hidup bersahaja bersama rakyat.
“Semua itu memberi pesan bahwa kekuasaan tanpa welas asih hanyalah kekosongan,” ungkap Agus Budi.
Warisan para Sultan, lanjutnya, bukan untuk diulang secara literal, melainkan untuk dipahami esensinya: membangun perdamaian tanpa kekerasan dan menegakkan demokrasi yang berakar pada martabat manusia.
Merawat Demokrasi, Menjaga Kedamaian
Bagi Agus Budi, peringatan boyongan kedaton tahun ini memberikan pesan kuat: demokrasi sejati tidak lahir dari perebutan kuasa, melainkan dari kesadaran untuk saling menghormati dan merawat kehidupan bersama.
“Dengan meniti pusaka leluhur, kita diajak untuk kembali menghidupkan nilai damai dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada akhirnya, pusaka sejati bukanlah keris atau mahkota, melainkan kesadaran welas asih dan kebijaksanaan yang diwariskan lintas generasi,” pungkas:Agus(Tyo)