
NASIONALTERKUNI. Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 pada 23 September 2025 menjadi salah satu momen penting yang menempatkan Indonesia dalam panggung sejarah dunia. Dengan tema “Seruan Indonesia untuk Harapan”, pidato ini tak sekadar diplomasi, melainkan artikulasi kosmopolitik yang menegaskan peran Indonesia sebagai jembatan kemanusiaan global.
Menurut Agus Budi Rachmanto, M.Sc., anggota Asia Pacific Network of Science & Technology Centres (ASPAC), pidato tersebut dapat dibaca melalui lensa non-dualistik—bukan sekadar Barat versus Timur, kuat versus lemah, melainkan visi menyatukan manusia dalam keberagaman.Kamis:25/09/2025

Dimensi Historis: Dari Memori Kolonial ke Solidaritas Dunia
Prabowo mengangkat pengalaman kolonialisme Indonesia sebagai pijakan moral. Bukan untuk membangkitkan dendam, tetapi untuk menumbuhkan empati universal. Indonesia berbicara kepada dunia dengan identitas ganda: bangsa yang pernah ditindas, tetapi kini berdaya. Posisi ini membuat Indonesia hadir bukan sebagai hegemoni baru, melainkan sebagai jembatan antara yang kuat dan yang termarjinalkan.Jelasnya
Dimensi Normatif: Multilateralisme sebagai Etika Global
Menolak doktrin Thucydides—“yang kuat berbuat semaunya, yang lemah harus menerima nasib”—Prabowo menegaskan pentingnya multilateralisme. Sejalan dengan gagasan Habermas tentang discourse ethics, legitimasi politik global seharusnya lahir dari komunikasi yang adil, bukan dominasi kekuasaan
Sikap Indonesia terhadap Palestina adalah cermin prinsip bebas-aktif: berpihak pada harmoni dan keseimbangan kosmos, bukan sekadar kalkulasi geopolitik.Paparnya
Dimensi Aksi Strategis: Dari Pasukan Perdamaian hingga Energi Bersih
Pidato ini juga sarat dengan aksi nyata. Indonesia berkomitmen mengirimkan 20.000 pasukan perdamaian, mendorong ketahanan pangan, dan mempercepat transisi energi.
Perdamaian: Indonesia meneguhkan perannya sebagai middle power aktif di arena global.
Pangan: Warisan agraris Nusantara, sejak era Majapahit, dihidupkan kembali sebagai narasi ketahanan pangan dunia.
Iklim: Peringatan soal tenggelamnya Jakarta akibat kenaikan air laut menjadi penegasan pentingnya ekopolitik yang menyatukan manusia, alam, dan langit.
Dimensi Etis-Universal: Kosmopolitanisme Nusantara
Prabowo menekankan bahwa seluruh umat manusia adalah satu keluarga. Gagasan kosmopolitanisme ini berakar pada filosofi Nusantara: Bhinneka Tunggal Ika. Visi ini menolak dikotomi kaku dan justru melihat perbedaan sebagai jalan menuju kesatuan.
Melalui narasi “dua keturunan Ibrahim” (Palestina–Israel), Indonesia menawarkan paradigma rekonsiliasi spiritual: bahwa konflik geopolitik bisa ditransendensi melalui visi kemanusiaan universal.
Kesimpulan: Indonesia sebagai Pilar Harapan Dunia
Pidato Prabowo di PBB ke-80 menampilkan Indonesia bukan hanya sebagai negara berkembang yang menuntut keadilan, melainkan sebagai aktor strategis yang menawarkan solusi global.
Berakar pada sejarah kolonial, berpijak pada multilateralisme, bergerak dalam aksi konkret, dan bernafas dengan etika kosmopolitan, Indonesia tampil sebagai subjek kosmopolitik mediator, penjaga harmoni, sekaligus pilar harapan dunia.Tutup:Rahman(Tyo)