
ASIONALTERKINI. Dalam sejarah panjang bangsa ini, Yogyakarta tidak hanya hadir sebagai ruang geografis, melainkan sebagai ruang kultural yang menyimpan memori kebersamaan, nilai harmoni, dan kesadaran kolektif. Jogja adalah rumah yang kita jaga bersama. Di balik riuh pergolakan sosial, krisis global, maupun dinamika nasional yang kerap melahirkan demonstrasi di jalan-jalan, Jogja terus mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan keutuhan sosial.

Krisis, baik dalam bentuk ekonomi, politik, maupun lingkungan, adalah bagian tak terhindarkan dari perjalanan umat manusia. Globalisasi mempercepat arus informasi dan mempersempit jarak antarbangsa, namun pada saat yang sama membuka kerentanan baru: ketidakpastian ekonomi, polarisasi politik, hingga krisis identitas budaya. Di tingkat nasional, ekspresi protes dan demonstrasi adalah bagian sah dari demokrasi. Namun, fenomena ini menuntut kearifan agar kebebasan tidak justru meruntuhkan fondasi harmoni sosial.

Dalam konteks itu, Jogja hadir sebagai ruang refleksi. Kota ini memiliki warisan kultural yang berakar pada filosofi hamemayu hayuning bawana—merawat kesejahteraan dunia. Nilai ini menegaskan bahwa transformasi sosial seharusnya tidak dilandasi permusuhan, melainkan diupayakan melalui perajutan kebersamaan. Jogja istimewa karena di sini, keberagaman tumbuh dalam semangat persaudaraan.

Transformasi bukan sekadar perubahan struktural, melainkan juga pergeseran kesadaran kolektif. Di tengah berbagai krisis global dan nasional, masyarakat Jogja dapat menjadi teladan dalam merawat ruang publik sebagai rumah bersama. Demonstrasi, perbedaan pendapat, dan dinamika politik semestinya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai proses menuju kedewasaan sosial. Yang terpenting adalah memastikan ruang itu tetap adem ayem—tenang namun tetap kritis.
Sebagaimana disampaikan oleh Agus Budi Rahmanto, Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY, “Jogja adalah ruang yang menumbuhkan kesadaran kolektif untuk menjaga harmoni. Demonstrasi bukan sekadar ekspresi politik, tetapi juga refleksi kegelisahan sosial yang butuh ditangkap dengan empati, bukan dengan permusuhan.”Ujarnya:Minggu:31/08/2025

Jogja mengajarkan bahwa “istimewa” bukan hanya predikat administratif, tetapi juga sikap hidup yang memuliakan kedamaian dan keberagaman. Mari kita rawat bersama nilai kebersamaan tanpa sekat, tanpa jarak, agar di tengah krisis apa pun, Jogja tetap menjadi rumah yang teduh—bukan hanya bagi warganya, tetapi juga bagi bangsa yang terus mencari teladan harmoni.Pungkas:Agus(Tyo)