
NASIONALTERKINI. Kehidupan manusia akan di warnai kerap kehilangan ruang untuk mendengar dirinya sendiri. Bising kota, kejar target, dan segala hiruk-pikuk kehidupan membuat banyak orang lupa bahwa tubuh dan jiwa memiliki bahasanya sendiri. Dalam ruang suwung—sunyi yang bukan hampa, melainkan hening yang penuh makna—keseimbangan sejati itu sesungguhnya menunggu untuk ditemukan kembali.
Sosok Girian Veriwinata hadir sebagai jembatan antara dua dunia: pengetahuan modern dan kebijaksanaan kuno Nusantara. Dalam praktiknya, ia tidak sekadar berbicara tentang teknik penyembuhan, tetapi tentang laku kesadaran, tentang bagaimana manusia kembali menyatu dengan ritme alam dan jiwanya sendiri.
Bagi Girian, penyembuhan bukan hanya urusan medis. Ia adalah perjalanan pulang menuju rasa. Sebab, manusia tidak akan pernah benar-benar sehat selama pikirannya terpisah dari hatinya. “Tubuh adalah kitab yang selalu berbicara,” ujarnya lembut. “Kita hanya perlu diam, mendengar, dan memahami pesannya.”Rabu:29/10/2025

Dari filosofi itulah lahir keyakinan mendalam bahwa masa depan kesehatan manusia tidak bertumpu pada alat atau teknologi semata, melainkan pada kesadaran hidup yang seimbang. Keseimbangan antara bekerja dan beristirahat, antara memberi dan menerima, antara bergerak dan diam. Di situlah makna suwung menemukan relevansinya — ruang kosong yang justru melahirkan kesadaran baru.
“Rasa iku guru sejati, lan sabar iku kawruh kang ora ana enteke.”
Rasa adalah guru sejati, dan kesabaran adalah pengetahuan yang tiada ujungnya.
Kalimat itu menjadi napas dalam setiap langkah hidupnya. Rasa, bagi Girian, adalah pintu menuju pemahaman yang paling dalam. Di sanalah manusia belajar melihat dirinya tanpa topeng, mendengarkan detak hati tanpa kebisingan dunia.
Dalam setiap praktik penyembuhan yang ia lakukan, Girian tidak hanya menenangkan pikiran pasiennya. Ia mengajak mereka menyelam lebih dalam ke dalam diri — menemukan luka yang tak terlihat, dan melalui kesadaran, perlahan menyembuhkannya. “Ketika seseorang mulai mengenali dirinya dengan jujur, tubuh akan ikut merespons. Ia tahu kapan harus pulih,”Papar: Girian.
Pendekatannya mengingatkan kita pada laku para leluhur Nusantara yang selalu menempatkan keseimbangan sebagai inti kehidupan. Dari tapa brata, semadi, hingga ngabekti marang alam, semua berakar pada kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian dari semesta, bukan penguasanya.
Kini, dalam panggung Jogja Culture Wellness Festival (JCWF) November 2025, Girian Veriwinata akan tampil membawa semangat itu kembali ke ruang publik. Melalui sesi terapi dan refleksi bertema Suwung, ia mengajak setiap peserta untuk mengalami kembali arti kesunyian — bukan sebagai keterasingan, melainkan sebagai jalan pulang menuju keutuhan diri.
“Kesembuhan sejati bukan tentang melawan penyakit,” ucapnya. “Ia tentang berdamai — dengan tubuh, dengan pikiran, dengan kehidupan.”
Dan di sanalah, dalam diam yang penuh kesadaran, manusia akhirnya bisa kembali menemukan sumber kesehatannya yang paling hakiki: rasa dan keseimbangan:Tutup:Girian(Tyo)
