NASIONALTERKINI– Demokrasi tak hanya terbatas pada pemilihan umum seperti pilkada, pileg, maupun pilpres namun juga pengalaman masyarakat sipil dari berbagai golongan yang lebih luas dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Pemerintah dan masyarakat bisa belajar banyak banyak mengenai pengalaman dalam pengelolaan, resolusi, dan intervensi terhadap konflik.
Oleh karena itu, pendidikan perdamaian perlu diajarkan sejak dini, agar konflik dan tragedi yang pernah terjadi di masa lalu seperti konflik GAM di Aceh, Konflik suku di Ambon dan Sampit dan konflik di Poso serta gerakan OPM di Papua tidak terulang kembali.
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM Eric Kaunan, mengatakan dalam upaya untuk mempertahankan stabilitas dan perdamaian dalam kehidupan berdemokrasi sangatlah dibutuhkan pendidikan perdamaian diajarkan sedini mungkin. Meskipun pendidikan perdamaian ini sangatlah penting ditanamkan sejak kecil, namun belum ada kurikulum yang menjembatani hal tersebut pada level sekolah dasar bahkan sampai sekolah menengah.
Ada pun pada jenjang pendidikan tinggi, hanya diajarkan pada beberapa mata kuliah pilihan saja.“Besar harapan kami, proses perdamaian ditanamkan sejak kecil,” katanya dalam Diskusi Pojok Bulaksumur dalam rangka sosialisasi kegiatan Seminar Nasional dengan tajuk “Pengalaman Resolusi Konflik dan Perdamaian dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia”, Selasa (26/11).
Eric menjelaskan Sasaran utama dari pendidikan sejak dini adalah para calon generasi muda yang akan menjadi agen perdamaian di masa mendatang. Menurutnya, potensi-potensi konflik dapat muncul dari mana saja, oleh karena itu fokusnya saat ini adalah mengembangkan media digital selain sebagai dari sumber konflik namun juga sebagai sumber perdamaian. Ia mengharapkan bahwa tantangan-tantangan yang ada terkait hal tersebut dapat melahirkan gagasan-gagasan serta kebijakan-kebijakan baru yang dapat menguatkan perdamaian baik secara nasional maupun internasional.
Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan sebagai upaya pembentukkan perdamaian, seharusnya dapat diaplikasikan dan tak hanya berakhir di ruang-ruang kelas saja. Hal ini perlu diperkuat dengan adanya peran-peran tokoh masyarakat yang dapat menghubungkan gagasan-gagasan secara lebih luas kepada masyarakat. “Setiap orang pun dapat menjadi tokoh, tergantung dengan values apa yang mereka bangun,” katanya.
Sosiolog UGM Arie Sujito menekankan bahwa bangsa Indonesia memiliki ruang yang cukup besar dalam mengelola kemajemukan dalam masyarakat sebagai modalitas. Hal tersebut yang akan menjadi titik tumpu demokrasi, yang dalam prosesnya tentu akan menemukan banyak konflik dari berbagai banyak lapisan dan kepentingan. Kemudian dari dinamika yang beragam tersebut, ada pola-pola yang dapat dipelajari.
Menurut Arie Sujito, dalam upaya pencarian resolusi konflik seharusnya tak boleh ada kekerasan dalam proses penengahan konflik, terlebih pada saat demonstrasi. “Demonstrasi tak seharusnya dijadikan suatu pertentangan namun upaya untuk menyelesaikan masalah,” katanya.
Sementara itu Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Lambang Trijono, mengatakan penyebab konflik berkepanjangan yang terjadi di masyarakat kita biasanya dikarenakan adanya masalah-masalah yang besar dan sulit dihadapi dalam kelompok-kelompok masyarakat, serta persepsi yang keliru antara satu sama lain, serta adanya kekerasan yang kemudian menimbulkan dendam dan rasa sakit yang terus disimpan. “Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan mereka dari konflik berkepanjangan tersebut ialah dengan melakukan rekonsiliasi yang dilakukan di zona damai yang netral untuk menguraikan persepsi-persepsi salah yang ada pada satu sama lain,”ujarnya. (cty/qfg)