JOGJABERITA– Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta menggelar konferensi pers terkait adanya indikasi salah tangkap pelaku kekerasan jalanan atau klitih yang terjadi di wilayah Gedongkuning beberapa waktu lalu. Ada lima terdakwa yang kini masih menjalani proses pengadilan.
Kelimanya mengaku mendapat kekerasan selama proses pengumpulan keterangan.
Pada kesempatan konferensi pers tersebut, PBHI berupaya untuk menghubungi Ryan Nanda Syahputra melalui sambungan video call guna mendapatkan keterangan.
Ryan menjelaskan dia sempat menerima kekerasan dan intimidasi oleh pihak kepolisian. Dia dipaksa mengakui perbuatan yang menurutnya tak pernah dia lakukan.
Kekerasan fisik berkali-kali dia dapatkan. Misalnya, pemukulan, pencekikan, hingga kakinya yang diinjak menggunakan kursi.
“Pada saat pemeriksaan itu ada kekerasan, dipukuli, dicekik, kaki diinjak pakai kursi. Pas penangkapan disuruh ke lantai dua. Di sana ditanya-tanyai, saya tidak tahu itu perkara apa.
Pada saat ditangkap, sampai hidung saya keluar darah. Lukanya lebam-lebam semua. Saya dipaksa untuk mengaku. Sempat juga ditodong pistol di dalam ruangan,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan video call, Senin (7/11).
Sementara itu, Arsiko Daniwidho Aldebarant sebagai penasihat hukum Ryan juga menemui adanya upaya obstraction of justice atau menghalang-halangi proses hukum.
Dia menyontohkan, adanya upaya penurunan resolusi pada rekaman CCTV dari MOV menjadi 3GP.
Hal ini menjadikan saksi ahli kesulitan mengidentifikasi orang-orang yang terekam dalam CCTV tersebut.
Dia menemui ada 9 file video yang bukan merupakan primary source atau sumber utama.
“Akibatnya, alat bukti ini rusak sehingga tidak dapat dilihat siapa sebenarnya yang terekam dalam CCTV.
Bahkan menurut ahli dari UII, dari video-video yang ditampilkan itu tidak ada satupun yang dapat menunjukkan orang ini sebenarnya siapa,” jelasnya. (ong/red)