JOGJABERITA– Sore hari usai adzan Ashar berkumandang, seperti biasa para santri di Pesantren Darul Ashom berjalan beriringan menuju musola untuk melaksanakan salat Ashar. Meski mereka jalan beramai-ramai, tetapi suasana sunyi. Satu sama lain berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Ini karena semua santri di Pesantren Darul Ashom merupakan penyandang tuna rungu.
Di tengah kumpulan para santri, Muhammad Kahfi ikut jalan beriringan. Dia merupakan salah satu ustadz di Pesantren Darul Ashom. Sembari berjalan, dia juga sesekali menggerakkan tangan dan jarinya.
Mengajak ngobrol para santri menggunakan bahasa isyarat. Kahfi, sapaannya terhitung masih muda. Di usia yang baru mengijak 26 tahun, dia telah mengabdikan diri membagikan ilmu agamanya kepada para santri. Sebagai bekal di akhirat nanti katanya.
Sesampainya di musola yang bangunannya berbentuk joglo itu, para santri lantas mengambil wudu. Ada juga beberapa santri yang tampak bersantai di serambi musola. Selang beberapa menit kemudian, semua santri sudah dalam keadaan siap untuk menunaikan ibadah salat Ashar.
“Tuna rungu ini perlu perhatian lebih. Apalagi soal agama. Dimana mereka sendiri tidak tahu penciptanya, tidak tahu Tuhannya. Bahkan mereka salat hanya gerakan saja.
Yang membuat saya sakit adalah tuna rungu selalu didiskriminasi. Padahal mereka ini Masya Allah sama seperti kita, normal,” ujar Kahfi ditemui di Pesantren Darul Ashom, Rabu (29/3).
Kahfi terhitung terjun menjadi pengajar sekaligus pengasuh di Pesantren Darul Ashom sejak empat tahun lalu. Dia meneruskan jejak dan semangat sang ayah yaitu Ustadz Abu Kahfi yang merupakan pendiri Pesantren Darul Ashom.
Dia mengakui, mengajar santri tuna rungu merupakan tantangan tersendiri baginya. Berbeda dengan santri normal kebanyakan, santri tuna rungu mempelajari dan membaca ayat Al-Quran huruf demi huruf. Ini juga diterapkan saat melaksanakan ibadah salat.
“Paling berkesan adalah saat mereka menulis hafalannya. Dimana waktu saya memberi soal ke mereka itu random, mereka bisa jawab. Ditulis huruf per huruf. Bahkan saya pribadi pun tidak terbayang hurufnya.
Saya hanya kebayang kalimatnya. Tapi inilah kelebihan mereka, menghafalkan huruf per huruf. Mereka bisa menulis hafalannya lagi dengan sempurna,” ungkap Kahfi.
Mengajar santri tuna rungu tak menjadi beban baginya. Justru, Kahfi menjalankannya dengan senang hati dan berharap akan menjadi tabungan pahalanya. Kahfi tak bergerak sendiri.
Istrinya, Siti Sopiah juga dia libatkan untuk mengasuh santri putri. Selaras dengan langkah Kahfi, Sopiah mengatakan tak mau santri tuna rungu mendapat perlakuan yang berbeda.
“Motivasi saya mengajar santri tuna rungu agar mereka punya masa depan dan tahu agamanya sendiri,” katanya.
Perempuan kelahiran tahun 2000 ini menyebut kebanyakan santri tuna rungu datang ke Pesantren Darul Ashom dalam kondisi sama sekali tak mengenal agama. Saat ditanya siapa itu Tuhan, Tuhan ada berapa, dan sebagainya tak ada yang mampu menjawab.
Dia bersama pengajar lain harus mengajari satu demi satu dengan perlahan. Seiring berjalannya waktu, santri mulai mengenal agamanya. Bahkan bisa membaca dan menghafal Al-Quran. Juga membaca serta memperagakan gerakan salat.
“Ternyata mereka luar biasa, Masya Allah. Untuk menghafal Al-Quran lumayan cepat. Dalam kurun beberapa bulan bisa hafal dua juz. Itu luar biasa,” ujarnya.
Perjuangan Sopiah bersama suaminya mendapat respon yang luar biasa dari para orang tua. Awalnya anak di rumah tidak terpantau dan di sekolah juga tak terawasi pergaulannya. Namun, setelah mengenyam pendidikan agama di Pesantren Darul Ashom, progres santri terbilang bagus.
“Dari sifat, adab-adabnya, dari cara memperlakukan orang tua itu progresnya sampai segitunya karena dekat dengan Al-Quran pasti hatinya akan dilembutkan,” katanya. (iin/evi)