JOGJABERITA-Salah satu seni budaya tradisional yang terpelihara di Kota Jogja adalah macapat. Kesenian yang berupa tembang atau puisi tradisional Jawa ini mengandung falsafah hidup.
Kepala Bidang Sejarah Permuseuman Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan (Disbud) Kota Yogya, Dwihana Cahya Sumpena menegaskan macapat sarat akan tauladan. Menilik judul dari sebuah macapat, dapat diketahui jika itu sebetulnya melambangkan kehidupan. “Baik dari lahir sampai meninggal,” ujarnya dalam sela acara Mekaring Seni Macapat Ginelar Ing Jagat Anyar yang digelar di Taman Pintar, Rabu (22/6).
Dwihana menyebut ada sebelas jenis tembang macapat. Tiap jenisnya memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan yang berbeda. Antara lain pangkur, maskumambang, sinom, asmaradana, dhandhanggula, durma, mijil, kinanthi, gambuh, pucung, dan megatruh. “Umpanya ada megatruh (berisi kisah, Red) ketika meninggal, mijil itu lahir,” jelasnya.
Muatan falsafah hidup yang kental di dalam macapat, menurut Dwihana harus mendapat perhatian. Sehingga tuntunan leluhur dapat terus lestari di setiap generasi. “Kita memang perlu peduli tentang tuntunan luhur dari nenek moyang,” ucapnya.
Oleh sebab, Disbud Kota Yogya menggelar acara Mekaring Seni Macapat Ginelar Ing Jagat Anyar yang di Taman Pintar. Destinasi wisata yang menjadi tujuan kunjungan pelancong dari dan luar Kota Yogya ini dinilai tepat. “Supaya banyak generasi muda yang mengerti, di Kota Jogja itu macapat masih lestari. Serta dapat menularkan rasa cinta terhadap budaya (macapat, Red) wisatawan yang datang untuk ikut melestarikan,” paparnya. (ang/red)