JOGJABERITA – Masjid-masjid kuno yang berdiri sejak zaman kerajaan menjadi salah satu bukti penyebaran dan peradaban agama Islam. Selain untuk beribadah, masjid-masjid kuno juga sarat akan nilai sejarah. Salah satunya adalah Masjid Gedhe Mataram yang berlokasi di Jagalan, Banguntapan, Bantul.
Masjid tertua di Tanah Mataram Sebelum Berdirinya Yogyakarta saat ditemui di Kantor Sekretariat Masjid GedheMataram, Koordinator Urusan Rumah Tangga Masjid Gedhe Mataram Warisman menyebut masjid ini dibangun pada tahun 1587.
Bahkan masjid ini telah ada sebelum Yogyakarta belum berdiri. Yogyakarta baru berdiri pada 1756 usai adanya Perjanjian Giyanti. Warisman menjelaskan pendiri Masjid Gedhe Mataram adalah Kanjeng Panembahan Senopati Sutawijaya. Dia merupakan murid salah satu Walisongo, yaitu Sunan Kalijaga.
Saat mengetahui salah satu muridnya mendapatkan kepercayaan menjadi seorang raja, Sunan Kalijaga lantas mendorong Panembahan Senopati Sutawijaya untuk meluaskan ajaran agama Islam. Utamanya di daerah pedalaman.
Hal ini lantaran pada saat itu agama Islam hanya berkembang di wilayah Pantai Utara. Mulai dari Gresik, Lamongan, Tuban, Pati, hingga Kudus. Lalu ke wilayah Demak menuju arah barat di Pekalongan sampai ke Cirebon.
“Ini momentum yang tepat kalau muridnya ini diperintah untuk mengembangkan Islam di pedalaman Pulau Jawa karena daerah Mataram ini dianggap sebagai daerah pedalaman melalui muridnya, Panembahan Senopati yang menjadi Raja Mataram yang pertama ini, yang diangkat menjadi raja pada 1586,” jelas Warisman ditemui di Masjid Gedhe Mataram, Rabu (22/3).
Berawal dari Hamparan Hutan Mentaok, Hadiah dari Kerajaan Pajang Melanjutkan ceritanya, Warisman menjelaskan Masjid Gedhe Mataram berawal dari hamparan Hutan Mentaok.
Hutan ini merupakan hadiah dari Kerajaan Pajang yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, yang merupakan ayah Panembahan Senopati Sutawijaya.
Saat itu, Ki Ageng Pemanahan sempat mengabdi sebagai Prajurit Wira Tamtama di Kerajaan Pajang. Ki Ageng Pemanahan awalnya berencana akan mengubah Hutan Mentaok menjadi hunian.
“Ki Ageng Pemanahan sudah purna menjadi prajurit. Dia mau membuka hutan yang dihadiahkan. Datang dari Surakarta ke sini melalui Prambanan. Karena Hutan Mentaok ini sudah menjadi milik Ki Ageng Pemanahan, maka akan dibuka hutan itu sebagai hunian nantinya,” jelas Warisman
Ada Akulturasi Budaya Hindu pada Bangunannya sepanjang perjalanan Ki Ageng Pemanahan dari Surakarta menuju Jogjakarta, dia kerap bertemu dengan warga etnis Hindu dan Buddha saat berhenti sejenak untuk beristirahat.
Mengetahui Ki Ageng Pemanahan akan membangun hunian di Hutan Mentaok, warga etnis Hindu dan Buddha itu memiliki keinginan untuk ikut Ki Ageng Pemanahan. Hutan Mentaok akhirnya dihuni oleh warga Hindu, Buddha, Islam, dan ada juga penganut aliran Animisme serta Dinasmisme.
Ketika Panembahan Senopati Sutawijaya hendak mendirikan masjid, warga etnis Hindu dan Buddha diminta untuk turut membantu. Mereka diminta membuat pintu gerbang. Jadilah pintu gerbang Masjid Gedhe Mataram hingga saat ini sarat akan ukiran yang khas layaknya sentuhan Hindu dan Buddha.
“Sebelum menjadi masjid yang besar ini, Ki Ageng Pemanahan membuka hutan sudah mendirikan musola, atau sura, langgar. Karena untuk pengembangan agama Islam, butuh tempat yang representatif dan luas. Dibangunlah Masjid Gedhe Mataram.
Panembahan Senopati bersama keluarga muslim membangun masjidnya. Orang-orang Hindu dimintai tolong untuk membangun pintu gerbangnya,” tutur Warisman.
Jadi Salah Satu dari Empat Aspek Catur Gatra Tunggal. Warisman mengatakan, sebagai seorang raja Panembahan Senopati harus mampu mendirikan landasan pokok berupa Catur Gatra Tunggal.
Secara masing-masing kata, catur artinya empat, gatra artinya wujud, tunggal artinya menjadi satu. Secara keseluruhan Catur Gatra Tunggal berarti 4 landasan utama Kasultanan Islam.
Landasan pertama adalah kerajaan yang menjadi pusat dijalankannya pemerintahan. Landasan kedua yaitu keberadaan masjid. Menjadi tempat peribadatan masyarakat dan tempat masyarakat berdoa kepada sang pencipta.
Lalu ada alun-alun, tempat bertemunya raja dengan rakyat. Sekaligus tempat untuk membicarakan kebijakan-kebijakan yang akan dibuat menjadi paugeran atau undang-undang. Landasan terakhir adalah pasar yang menjadi pusat ekonomi dan kemakmuran.
“Masjid Gedhe Mataram memenuhi dua fungsi masjid. Sebagai pusat kegiatan pengembangan agama Islam di pedalaman Pulau Jawa dan sebagai salah satu Catur Gatra Tunggal sebagai landasan Kasultanan Islam,” kata Warisman.
Pernah Terbakar, 90 Persen Kayu Usuk dalam Keadaan Baik Warisman menyebut Masjid Gedhe Mataram pernah terbakar sekitar tahun 1900-an. Saat itu kebakaran tak sampai menghabiskan bangunan Masjid Gedhe Mataram. Setelahnya hanya bagian atap saja yang direhabilitasi.
Bahan kayu yang mudah terbakar awalnya diganti menjadi genteng soka atau genteng press. Namun, saat itu genteng soka dirasa terlalu berat. Hingga akhirnya diganti dengan genteng berbahan logam. Warisman menjelaskan rehabilitasi terakhir dilakukan pada rentang tahun 2015 hingga 2016.
“Rehab bagian kerangka atap. Semua usuk, blandar, turun semua. Terus dipasang lagi yang masih layak. Ternyata yang masih layak 90 persen, yang diganti cuma beberapa aja. Jadi kayu zaman dahulu bagus, karena kayu itu kalau mau dipakai umurnya tertentu harus sekian tahun. Menebangnya pun pada masa-masa tertentu,” katanya. (eng/eko)