NASIONALTERKINI– Warga asal Kulonprogo, Veronica Lindayati Lokasari dan Zealous Siput Lokasari mengajukan perkara perdata ke PN Jogja untuk menggugat Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam RI Mahfud MD.
Gugatan itu ia ajukan lantaran menilai para pejabat negara tersebut melakukan pembiaran atas perbuatan diskriminasi ras dan etnis pada saat proses peralihan balik nama sertifikat tanah.
Atas dasar itulah, mereka mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Jogja pada 20 Desember 2023 lalu.
Zealous Siput Lokasari selaku penggugat II menyatakan insiden diskriminasi layanan itu dialami istrinya pada 2016 lalu di Kantor Pertanahan Kulonprogo.
“Di sini ada perbedaan, istri saya dibilang nonpribumi dan tidak dilayani. Makanya dia minta perlindungan ke Pak Presiden dan Menko Polhukam tetapi diabaikan, makanya kami minta bantuan ke hukum agar ditempuh cara yang sesuai dengan aturan,” katanya, Kamis (28/12).
Menurutnya, negara yang berdasarkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika harusnya tidak diam atas persoalan ini. “Makanya kami dengan sangat terpaksa membawa ini ke ranah hukum, agar masalah ini yang sangat memalukan kita semua dan di kemudian hari tidak ada lagi pelanggaran HAM atau diskriminasi tadi,” kata dia.
Siput mengklaim bahwa insiden diskriminasi layanan ini baru pertama kali dialaminya di era pemerintahan Jokowi. “Ini baru pertama kali kejadian pada 2016, istri saya sudah bersurat ke banyak pihak,” ujarnya.
Dia menyebut, hal ini tentu merugikan dirinya. Pasalnya, sertifikat tanah disebutnya dicoret oleh petugas kantor pertanahan dan tidak bisa diapa-apakan lagi.
Dijual tak laku diagunkan ke bank pun tidak memenuhi syarat. “Ini jelas merugikan kami. Disebut nonpribumi, sertifikat dicoret dan kami tidak dilayani,” katanya.
Kuasa hukum Zealous, Oncan Poerba beserta tim yang terdiri dari Willyam Saragih dan Yoga Nugrahanto telah mengajukan perkara ini ke Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Oncan Poerba mengatakan, atas sebutan non pribumi itu lantas prosesnya tidak dilanjutin.
Namun, dia menegaskan, gugatan yang diajukan ini bukan perihal sertifikat atau peralihan hak. “Tetapi menyangkut tentang adanya sebutan non pribumi,” tegasnya, Kamis (28/12).
Oncan menilai, alasan non pribumi itu bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Pasal 28I Ayat 2 UUD 1945.
Para pihak yang digugat yakni Muhammad Fadhil sebagai tergugat I, Kepala Kantor Pertanahan Kulon Progo tergugat II, Kepala BPN DIY tergugat III, Menteri ATR/BPN tergugat IV, Presiden Indonesia tergugat V, Menko Polhukam tergugat VI, Menkumham tergugat VII, dan Gubernur DIY tergugat VIII. Gugatan ini berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Oncan menyampaikan, kliennya mengajukan gugatan ganti kerugian materil sebesar Rp 6,3 miliar dan kerugian imateril Rp 1 triliun.
Selain itu, penggugat juga menginginkan adanya permintaan maaf yang dilakukan oleh para tergugat. Permintaan maaf itu dimintanya dilakukan di media massa sebanyak tiga kali.
Penggugat II Siput menyatakan, saat itu yang mengajukan pengurusan yakni istrinya Veronica. Tetapi, malah disebut non pribumi. Awalnya berusaha melakukan pembelaan terhadap Presiden Indonesia.
Namun, itu tidak membuahkan hasil karena tidak diindahkan. Siput menegaskan, diskriminasi semacam ini memunculkan pertanyaan di mana Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Makanya, kami menggugat di PN Jogja maksudnya agar permasalahan diskriminasi ras etnis ini tidak terjadi oleh siapapun lagi,” katanya.
Kejadian yang dialaminya ini pertama kali terjadi pada 2016 lalu. Upaya pembelaan sudah dilakukan sebelum melakukan gugatan. Tetapi, tidak ada yang membantunya sehingga diajukan gugatan.
Siput mengaku, istrinya disebut non pribumi sehingga tidak dilayani dan sertifikatnya dicoret-coret. Oleh karena itu, sertifikatnya tidak laku untuk digunakan lagi. “Mau dijual tidak bisa, mau diagunkan tidak bisa. Jadi dirusak karena penyebutan non pribumi,” ungkapnya. (ert/sky)