Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Dinkes Sleman Imbau Masyarakat Waspada DBD dan Leptospirosis

JOGJABERITA

JOGJABERITA – Menjelang libur panjang lebaran, Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Ini karena selama libur lebaran umumnya akan terjadi mobilitas yang tinggi.

Belum lagi saat ini hujan masih kerap terjadi di wilayah Sleman. Kondisi ini bisa menyebabkan penularan DBD yang meningkat pula.

Direktur RSUD Sleman Novita Krisnaeni menyebut data terbaru kasus DBD di Sleman ada sebanyak 92 kasus. Ini tersebar di beberapa kapanewon diantaranya Moyudan, Tempel, Mlati, dan Prambanan. Ada juga di Depok, Seyegan, Minggir, Ngaglik, dan Berbah.

“Pencegahan DBD, monggo masyarakat diimbau untuk tetap 3M. Menguras, menutup, dan mengubur sampah-sampah,” kata Novi saat jumpa pers di Pendopo Parasamya Sleman, Kamis (13/4).

Sub Koordinator Kelompok Substansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Sleman Seruni Angreni Susila menyebut pengendalian wabah DBD telah dilakukan dengan program Si Wolly.

Hingga kini DBD di Sleman juga terbilang terkendali. Namun dia tetap mengimbau masyarakat untuk waspada. Terutama jika ada sanak saudara yang berasal dari daerah dengan angka DBD yang tinggi.

“Yang (dipengaruhi) mobilitas tinggi itu DBD. Di Sleman sudah ada program Si Wolly. Sudah cukup terkendali, tetapi kalau pas era mudik kabupaten atau kota lain misalnya Kota Semarang masih ada DBD-nya dia bawa, sampai sini demamnya baru muncul. Nanti bisa berpotensi menularkan di sekitarnya,” jelas Seruni.

Dia menambahkan, selain DBD ada juga penyakit Leptospirosis yang patut diwaspadai. Ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh menyebarnya bakteri melalui air seni htikus. Sejak Desember hingga saat ini terjadi peningkatan kasus di beberapa titik.

Tercatat telah ada 44 kasus Leptospirosis di Sleman. Diantaranya terjadi di Moyudan, Gamping, Minggir, Sleman, dan Prambanan. Lokasi-lokasi tersebut biasanya banyak terdapat area persawahan.

“Kami melakukan monitoring langsung, sidak bersama antara panewu, lurah, serta bersama dengan puskesmas, polresta. Bagaimana sistem kerja sama yang ada di wilayah untuk mengantisipasi para petani-petani kita menerapkan kewaspadaan,” ungkapnya.

Menurut Seruni, penyakit Leptospirosis memiliki fatality rate yang tinggi. Meski demikian fatality rate Leptospirosis di Sleman tercatat berada di angka 4,6, di bawah angka rata-rata nasional. Namun, dia mengatakan suspek Leptospirosis belum terlaporkan dengan baik. Case fatality ini akan turun jika banyak orang yang demam dan memiliki kontak ke sawah bisa terlaporkan.

“Sebagian besar kasus Leptospirosis ini tidak banyak memiliki gejala. Kalau kondisi tubuhnya bagus dia cuma demam-demam ringan, dia nanti sembuh membaik. Atau ternyata dia sudah dapat antibiotik, langsung sembuh membaik.

Yang biasanya berat lansia, petani yangg sudah berusia dan memiliki komorbid, kemudian terlambat penanganan. Biasanya tidak langsung periksa atau tidak diberi antibiotik, akhirnya mengalami gagal ginjal,” ungkapnya. (tyo/wer)

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *