JOGJABERITA– Belakangan santer terdengar adanya wacana kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Ombudsman RI Perwakilan DIY turut menyoroti wacana kebijakan tersebut.
Ketua Ombudsman RI Perwakilan DIY Budhi Masturi mengatakan kenaikan harga ini merupakan penyesuaian harga atas pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah pusat.
Pihaknya tidak merekomendasikan kebijakan tersebut. Kenaikan harga BBM bersubsidi menurutnya akan memberi dampak pada kehidupan ekonomi masyarakat.
Padahal, saat ini perekonomian perlahan sedang mulai bangkit usai dihantam pandemi Covid-19.
“Kita sudah mendengar statement Ombudsman Pusat, bahwa tidak dalam posisi untuk merekomendasikan untuk disesuaikan harga BBM nya.
BBM ini tidak secara langsung terkait dengan pelayanan publik, tapi kebijakan penyesuaian tarif pengurangan subsidi akan berkonsekuensi pada berbagai hal yang ada,” ujarnya saat ditemui di Kantor Ombudman RI Perwakilan DIY, Kamis (1/9).
Budhi mengatakan, penyesuaian tarif BBM bersubsidi akan berdampak pada distribusi kebutuhan pangan.
Hal ini nantinya akan mengakibatkan harga kebutuhan pokok di tengah masyarakat juga turut melambung.
Beberapa layanan publik juga dikhawatirkan akan kena imbasnya. Dia menyontohkan salah satunya adalah pelayanan di rumah sakit.
“Misalkan rumah sakit itu berbagai peralatannya disuplai dengan energi disel yang pasti ada BBM nya.
Biaya produksi yang naik bisa mempengaruhi tarif rumah sakit,” katanya.
Ombudsman RI sebagai lembaga yang berfokus pada pelayanan publik meminta pemerintah untuk melakukan kajian terhadap kebijakan ini.
Proses-proses penciptaan kebijakan juga harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai terjadi maladministrasi.
Pelayanan kepada publik juga diharapkan bisa ditingkatkan. Hal ini mengingat masyarakat telah mengeluarkan ongkos lebih besar.
“Proses yang dilalui pemerintah untuk sampai nantinya membuat kebijakan pengurangan subsidi BBM tertentu itu harus sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Misal, prosesnya harus melalui uji publik dulu, DPR, itu harus dilalui. Kalau salah satu tidak dilalui berarti maladministrasi kebijakannya.
Perlu direview dan diperbaiki prosesnya.
Dipastikan pelayanan publik yang terkait langsung maupun tidak langsung minimal harus tetap baik.
Lebih bagus kalau lebih baik karena ongkos yang dibayar publik lebih mahal,” ujarnya.
Sementara itu, sebagian masyarakat mengaku tidak setuju dan keberatan jika kebijakan tersebut nantinya diterapkan.
Salah satunya bagi Eko Saputra Prabowo seorang warga Sleman yang sehari-hari bekerja sebagai supir mobil bak terbuka.
Dia mengatakan saat ini harga beberapa kebutuhan pokok juga tengah melambung. Hal ini menjadikan dia harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kalau saya kurang setuju, karena perekonomian pasti naik. Harga sembako, kebutuhan dan segala macam juga pasti ikut naik,” katanya.
Senada, Fadli Fadilah yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online mengaku keberatan jika harga BBM nantinya naik.
Kenaikan harga BBM ini menurutnya tak sejalan dengan kenaikan jumlah penumpang. Dia mengaku kondisi ini bisa membuat dia boncos lantaran pengeluaran yang tak sebanding dengan pemasukan.
“Kalau kenaikan harga BBM ya pengaruh sekali. Orderan juga tidak naik. Kalau saya tidak setuju, dari dulu juga ada wacana ojol tarifnya naik, tapi sampai sekarang nyatanya tidak ada,” ungkapnya. (ang/red)